Perbedaankondisi demografis seperti persebaran penduduk, komposisi penduduk dan jumlah penduduk setiap daerah pastilah berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lain. Kondisi Pendidikan. Pendidikan merupakan social evelator yaitu saluran mobilitas sosial vertikal yang efektif. Namun dengan ini juga dapat diketahui seberapa besar
Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 1Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan Antariksa E-mail antariksa E-mail Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya 1. PENDAHULUAN Penegasan dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan perkotaan di masa mendatang. Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis warga kota dan civitas kota; kedudukan warga kota. Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya juga memberikan tekanan pada dua hal pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu Antariksa, 2009b. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan budaya cultural heritage yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan street-furniture dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau soft-landscape maupun perkerasannya hard-landscape. Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan âbudaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tuaâ. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama âmuseum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantorâ ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 22. HASIL DAN PEMBAHASAN Mencari Makna Kaerifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal local wisdom terdiri dari dua kata kearifan wisdom dan lokal local. Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom kearifan sama dengan kebijaksanaan. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut Gobyah dalam Sartini 2004112 mengatakan bahwa kearifan lokal local genius adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain, Geriya dalam Sartini 2004112, mengatakan bahwa secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan reinforcement. Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Sartini, 2004112 Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar Sayuti, 2005. Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara Sayuti, 2005. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Karya-karya arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Menurut Juwono 200576, identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai âdaya tarik serta keunggulanâ kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal Eade, 1977. Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 3semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories dan dinamika dari kawasan tersebut. Kearifan Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan Rapoport, 1969. Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh rumah Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje 1985 membuktikan bahwa hunian masyarakat permukiman Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh dahulu disebut dengan Kutaradja dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik Lombard, 2006. Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong tata krama peradatan di Aceh untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. Burhan, 2008 Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 4Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut Mahayani, 199535 1 Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan; 2 Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya; 3 Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat. Rumah-rumah di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu, bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan, sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok Krisna, 2005. Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan asal usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama. Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya Tulistyantoro, 2005. Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang halaman panjang. Menurut Zawawi Imron survey primer 2008, permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura survey primer 2008 dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan kering/tandus menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal. Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat matrilokalitas serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. Dewi, 2008 Kegiatan adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among, tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut mempengaruhi bentuk pola permukiman pola hunian baik internal maupun eksternal. Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 5Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama komunal, linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain. Pola permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura. Permatasari, 2008 Peninggalan Kolonial dan Kearifan Lokal Bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum tahun 1930 sekitar tahun 1914-1918 dan bangunan yang dibangun sekitar tahun 1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari bangunan berlanggam tahun 1930-an. Secara umum, fasade bangunan pada masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang memiliki legibilitas kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat diorganisir sebagai suatu pola yang koheren. Unsur irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar dari ketinggian bangunan. Novayanto, 2008 Keteraturan ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang terbuka open space/void yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan solid lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama. Novayanto, 2008 Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan Persepsi budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture 1973, seikat dari aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik. Dalam pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities 1938nya mengatakan bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota ..âŠ.. adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan âgreatest work of artâ. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways. Peran budaya terhadap kota dalam The City 1905, Max Weber mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan urbanity â wujud kosmopolitan Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 6dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari âurbanisasi sebagai proses kemasyarakatanâ, bukan sejarah dari âkotaâ. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. Kuntowijoyo 200364 Di sini urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan. Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan lokal yang mereka punyai. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan. Teori Sebagai Alat Pengungkap Kearifan Lokal Di kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat dilakukan dengan pendekatan fisik Trancik, 1986, di samping pendekatan yang memperlihatkan aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai kontekstual ruang. Setiap kota memiliki banyak fragmen tinggalan masa lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah kota yang berfungsi sebagai bagian yang terdapat di dalam kota. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menggali kearifan lokal, adalah elemen penghubung, yaitu elemen-elemen dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk membantu orang agar mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar Zahnd, 1999108. Pendekatan lain adalah figure ground sering dipergunakan untuk mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan kawasan. Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun building mass dan ruang terbuka open space. Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan urban fabric, serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan Zahnd, 199979. Kemudian teori place dipergunakan untuk memahami seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk i memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya; dan ii memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual Zahnd, 199970. Secara fisik, sebuah ruang space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempatnya Trancik, 1986. Pendekatan citra kota memberikan arah pendangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Makna sebuah tempat dapat diungkapkan berdasarkan elemen-elemen pembentuk citra. Tiga dari lima elemen yang dapat mengungkapkan makna dari ciri perkotaan, yaitu district kawasan, node simpul, edge batas serta landmark tengeran Lynch, 1960, kelima elemen ini tidak dapat dipandang secara terpisah antara satu dengan lainnya. Karena kelimanya akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi. Melalui konsep mental map ruang kota menurut Lynch 1960 konservasi kawasan dapat dikembangkan kota sebagai âkonstruksi collective memoryâ. Namun tidak demikian halnya dengan kota-kota yang tidak memiliki âstruktur fisikâ seperti kota-kota yang terdapat di Indonesia, dengan eksistensi kota-kota semacam ini lebih bertumpu pada kekuatan sosial budayanya. Pendekatan sinkronik dan diakronik yang diungkapkan oleh Suprijanto 2001108, umumnya digunakan dalam kaitannya dengan morfologi dalam arsitektur dan kota sebagai metode analisis. Pada morfologi atau perkembangannya, aspek diakronik digunakan untuk mengkaji satu aspek yang Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 7menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau ide dari waktu ke waktu. Sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, pendekatan-pendekatan di atas masih belum menyentuh masalah budaya arsitektur perkotaan, yang dapat digunakan untuk melihat struktur kota yang berkaitan dengan bangunan dan kawasannya. Massa dan ruang yang akan dimaknai, belum cukup untuk dapat mengungkapkan tradisi dan budaya dibalik lingkungan binaan yang melingkupinya. Dengan kondisi budaya yang berbeda, tentunya akan memberikan hasil yang berbeda pula dengan kondisi geografis bangunan dan kawasan lainnya. Karena struktur fisik kota di masing-masing tempat berbeda dengan struktur budaya di tempat lain yang didasarkan pada struktur geografis kulturalnya. Setiap kawasan juga memiliki keunikan tersendiri terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu kota atau daerah. Pada dasarnya potensi yang dimiliki tersebut harus mampu dimanfaatkan ataupun dikembangkan sebagai daya tarik kawasan tersebut. Pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan etik harus melihat pandangan emik bagaimana kepentingan warga secara luas dan masyarakat kota secara umum. Dari disiplin perancangan kota, kasus ini menunjukkan âkonstruksi sosial budaya kotaâ bukan konstruksi fisik seperti dapat dijumpai pada kota-kota lain di Indonesia Juwono, 200582. Menghadapi kenyataan tersebut tindakan yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang konsep dasar perancangan kawasan serta melihat kembali apakah kearifan lokal yang ada masih dapat dipertahankan. Dengan demikian fungsi ruang adalah sebagai tempat transformasi nilai sosial budaya Demikian pula dengan makna kultural, dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang mengusulkan kriteria untuk mengestimasi nilai dari suatu tempat. Suatu tempat dikatakan mempunyai makna, bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi nilai untuk generasi yang akan datang. Termasuk di dalamnya adalah, nilai estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai sosial termasuk dalam konsep makna kultural seperti tertuang dalam piagam Burra Burra Charter, 1981. Pendekatan yang dilakukan oleh Catanese 1986, merumuskan kriteria yang digunakan dalam menentukan objek konservasi sebagai berikut estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan/keistimewaan, peran sejarah, dan memperkuat kawasan. Bahkan objek yang akan dikonservasikan menurut Pontoh 1992, dapat dikategorikan sebagai berikut nilai value dari objek, fungsi objek dalam lingkungan kota, dan fungsi lingkungan dan budaya. Gagasan ini pun dilanjutkan oleh Attoe dalam Catanese & Snyder 1992423-425 yang memberikan pendapat, bahwa perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan objek konservasi didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut dianggap yang pertama, patut diperhatikan menurut sejarah, perlu dicontoh, tipikal, dan langka. Namun pertimbangan objek tadi belum cukup masih diperlukan parameter, yang oleh Fitch dalam Nurmala 200329 diungkapkan melalui tiga parameter konservasi dalam menentukan lingkup objek konservasi, yaitu skala, tipe dan artefak, dan ukuran dari artefak. Pendekatan ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna kultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna kulturalnya. 3. KESIMPULAN Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan arsitektur dan kawasan perkotaan, dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 8bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. REFERENSI Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota. Jurnal PlanNIT. 2 2 98-112. Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 15 1 64-78. Antariksa, 2007. Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya Malang, 3 Desember 2007. Antariksa, 2008. Memahami Sejarah Kota Sebuah Pengantar. Diakses 12 April 2009 Antariksa, 2009a. Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan. Diakses 5 April 2009. Antariksa, 2009b. Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan. Diakses 11 April 2009. Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung Alumni. Budihardjo, E. 1997. Arsitektur, Pembangunan dan Konservasi. Jakarta Djambatan. Budihardjo, E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung Alumni. Burhan, Antariksa & Meidiana, C. Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. arsitektur e-Journal. 1 3172-189. Diakses 25 April 2009 Dewi, Antariksa, Surjono. 2008. Pelestarian Pola Perumahan Taneyan Lanjhang Pada Permukiman di Desa Lombang Kabupaten Sumenep. arsitektur e-Journal. 1 2 94-109. Diakses 27 April 2009 Eade, J. 1997. Introduction, in John Eade, Ed. Living the Global City, Globalization as Local Process. London Routledge. Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005. Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 2112-124. Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 17 1 48-66. Juwono, S. 2005. Keberadaan Kampung Kota di Kawasan Segitiga Emas Kuningan Konstribusi Pada Rancang Kota. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT 2005. Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005. Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal PlanNIT. 3 2124-133. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana Yogya. Lynch, K. 1960. The Image of the City. Cambridge MIT Press. Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar Baru, Bandung. Tesis. Tidak Diterbitkan. Bandung ITB. Permatasari, I., Antariksa & Rukmi, 2008. Permukiman Perdesaan di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. arsitektur e-Journal. 1 2 77-93. Diakses 3 Mei 2009 Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York Plenum Press. Rappoport, A. 1969. House Form and Culture. New Jersey Prontise Hill Inc. Englewood Cliffs. Rypkema, 2008. Heritage Conservation and Local Economy. Global Urban Development Magazine. 4 11 Seminar Nasional âKearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaanâ PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 9Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37 2 111-120. Diakses 10 April 2009 Sayuti, 2005. Menuju Situasi Sadar Budaya Antara âYang Lainâ dan Kearifan Lokal. Diakses 12 April 2009. Stelter, 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community 1-7. Trancik, R. 1986. Finding Lost Space Theories of Urban Design. New York Van Nostrand. Tulistyantoro, L. 2005. Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dimensi Interior. 3 2 137-152. Zahnd, M. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta Kanisius. Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan, Jumat 7 Agustus 2009, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang. Copyright © 2009 by Antariksa ... Sebagai identitas suatu komunitas, Geertz 1992 menyatakan bahwa kearifan lokal dipraktekkan oleh suatu masyarakat sebagai jati diri, seperti dapat ditemui pada hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan, tata kelola, serta tata cara dan prosedur. Sementara itu, gabungan antara nilai-nilai ke-Semesta-an dengan beragam pandangan hidup tergabung menjadi kearifan lokal yang memotivasi kehidupan masyarakat modern Antariksa, 2009. Kedua pendapat ini menegaskan bahwa dalam tatanan budaya, identitas suatu masyarakat atau tempat tertentu dihadirkan melalui kearifan lokal Agusintadewi, 2016. ...... Kearifan lokal menjadi proses menemukenali potensi dan sifat-sifat alam dalam melanjutkan tradisi. Antariksa 2009 Selain itu, tidak sedikit dongeng, syair, dan cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun dan berkaitan dengan simbol peristiwa alam yang disampaikan pada cerita tersebut. Cerita rakyat, syair, dongeng, dan penamaan suatu tempat merupakan cara yang dilakukan oleh para orang tua dalam menyampaikan pesan atau peristiwa. ...... Masyarakat modern semakin mengabaikan kearifan lokal dan menganggapnya sebagai sesuatu yang kurang penting dan tidak perlu dirujuk lagi, sehingga hubungan antara alamtradisimanusia menjadi terputus Agusintadewi, 2016. Sejumlah pemikiran berdasarkan tradisi tersingkirkan oleh rasionalitas, walaupun pemikiran tersebut memberikan tuntunan hidup Antariksa, 2009. Metafisika dan fenomenologi semakin tidak dikenal, masyarakat modern pun semakin menjauh dari alam. ... Ni Ketut AgusintadewiLocal wisdom of a community is created by the abilities to read natural phenomena. These abilities are practised and inherited over generations through folklores, poetries, or even fairy tales. These become an integral part of the generations. From the folklores, even local knowledge of natural disasters was formed. Unfortunately, not all local wisdom can be known by the modern community, with the intention of many people died after natural disasters happening. This article describes how local knowledge that relates to disasters in Indonesia became a disaster mitigation that was ignored by the people today. Knowledge of local wisdom can be used as a disaster preparedness education to regional characteristics and adapted to the characters of the latest disaster. Being close to nature also makes local communities have the potentiality to save independently. Finally, the importance of local wisdom as a fundamental aspect in structuring the curriculum of disaster mitigation in Indonesia is as an appropriate effort to provide an education in dealing with disasters. Keywords culture of responsive disaster, local wisdom, curriculum of disaster mitigation ABSTRAK Kearifan lokal suatu masyarakat tercipta oleh kemampuan masyarakat tersebut dalam membaca fenomena alam. Kemampuan membaca alam ini dipraktekkan dan dituturkan secara turun-menurun dalam bentuk cerita rakyat, syair, atau pun legenda, sehingga lahirlah pengetahuan lokal mengenai bencana alam. Namun sayangnya, tidak semua kearifan lokal dapat diketahui oleh masyarakat saat ini, sehingga ketika terjadi bencana, banyak korban berjatuhan. Artikel ini memaparkan tentang bagaimana kearifan lokal terkait dengan bencana alam menjadi suatu tindakan mitigasi bencana yang terlupakan oleh masyarakat saat ini. Pengetahuan tentang kearifan lokal dapat dijadikan muatan pendidikan tanggap bencana yang telah diadaptasikan dengan pola dan ragam bencana terkini pada wilayah tersebut, sehingga masyarakat dapat melakukan penyelamatan secara mandiri. Artikel ini diakhiri dengan pemaparan tentang pentingnya kearifan lokal sebagai basis dalam kurikulum pendidikan kebencanaan di Indonesia sebagai upaya yang tepat untuk mengedukasi masyarakat dalam menghadapi sekaligus menangani bencana. Kata Kunci budaya tanggap bencana, kearifan lokal, kurikulum pendidikan kebencanaan PENDAHULUAN Secara geologis, geomorfologis dan geografis, Indonesia merupakan negara yang rawan dengan bencana, terutama bencana geologis gempa bumi, gunung meletus dan hidrometeorologi kekeringan, kebakaran, longsor, abrasi, erosi, angin topan, banjir, dan lain-lain. Potensi bencana setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang beragam, sehingga penanganannya pun haruslah berbeda pula, baik secara nasional maupun lingkungan sekitar. Pemahaman tentang dinamika hubungan alam dan manusia di suatu wilayah sangat mempengaruhi pandangan masyarakat tersebut dalam memperlakukan alam. Untuk mengurangi risiko bencana, maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan melalui menumbuhkan kesadaran akan kapasitas dirinya dalam mitigasi bencana. Pengalaman empirik manusia melalui interaksi dengan lingkungannya akan menghasilkan pengetahuan lokal tentang hubungan alam-tradisi-manusia. Namun saat ini, beragam pengetahuan lokal yang dimiliki oleh berbagai masyarakat tradisional di Indonesia perlahan-lahan mulai punah karena tidak didokumentasikan secara baik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Prakteknya, pengetahuan dan kearifan lokal dapat disinergikan secara empirik dan rasionalistik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana alam dengan memberdayakan partisipasi masyarakat lokal.... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan tempat atau ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi terjadi, sedangkan kearifan wisdom atau kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang menggunakan akal pikirannya dalam menyikapi sesuatu peristiwa, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang memiliki makna atau nilai tertentu, bisa juga berupa pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ...... Cultural expression is anything related to traditional and historical elements in the physical and non-physical forms that develop and is embedded in people's lives represented through symbols, signs, and activities. Moreover, this definition estimates the value of a place to help understand the past and enrich the present while still being valuable for future generations Antariksa, 2009. ...Natural and cultural aspects significantly affect architectural form development. High-rise building contributes to produce a high expression in the public space vision since it is gigantic. As an architectural aspect, a high-rise building has 2 main aspects, including Cultural Expression Culex and Climatic Expression Climex on its envelopes. This study aimed to design an interpretation method for Culex and Climex performance acceptance in high-rise building envelopes in Phinisi Tower, Makassar, Indonesia. Three theories, including gestalt perception, triadic semiotics, and tropical design or Critical Tropicalism were applied. Moreover, categorization, interpretation, and TRNSYS software simulation were used to process and analyze data from respondents and observations. This study led to the formation of an expression interpretation called Identification, Contextualization, and Implementation, abbreviated as "ICI." Culex was categorized into 2, including historical and traditional contexts. Climex also were categorized into 2, including historical and traditional contexts, and envelope configuration and geometry inter floors changes. There were 5 steps for interpreting the high-rise building envelope expression, including 1 Observational perspectives determination, 2 Organizing Gestalt principal basic expressions, 3 Culex and Climex contextualization, 4 Classification of the expression-creating element categories, and 5 Performance acceptance, inclusive or exclusive categorization. Generally, this method can contribute to designing high-rise buildings related to cultural and climatic elements. Key words Method, Interpretation, Expression, Envelope, Climatic, Cultural, Building, High-rise... Mitos Aceh. Banda Aceh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm Antariksa. 2009. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan. Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan. Malang PPI Rektorat Dahliani, Soemarno, I., & Setijanti, P. 2015. Local Wisdom In Built Environment In Globalization Era. International Journal ofEducation and Research, II ... Mukhammad FatkhullahDalam pariwisata, eksotisme budaya merupakan daya tarik bagi wisatawan. Akan tetapi, tidak semua budaya menghasilkan dampak yang sama. Beberapa justru menjadi penghambat upaya mengembangan masyarakat, terlebih pada upaya eksplorasi sumberdaya alam potensial untuk menunjang tujuan pembangunan. Penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana budaya masyarakat lokal memberikan kontribusi pada sektor pariwisata, dengan menggunakan metode eksploratis berdasarkan studi literatur. Hasilnya, budaya masyarakat lokal mampu mendukung sektor pariwisata dengan syarat terdapat unsur kearifan didalamnya. Adapun unsur tersebut dapat bersumber dari Agama, bahkan takhayul sekalipun. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku pada komunitas yang homogen. Takhayul yang ada pada masyarakat yang heterogen hanya akan menimbulkan keacuhan masyarakat, hingga penelantaran lingkungan. Adapun upaya untuk menghapus takhayul dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan aspek keagamaan. Lebih lanjut, studi ini menemukan bahwa pengembangan wisata berbasis budaya tetap dapat diupayakan dengan mempertimbangkan 1 regulasi yang beroritentasi pada pengembangan masyarakat dan berwawasan lingkungan, 2 pengembangan yang berfokus pada keunikan dan identitas lokal, serta 3 strategi pemasaran yang menekankan pada pengalaman spiritual.... Local wisdom in architecture can be seen from time and place that the local wisdom in terms of architecture comes from the past within the local people that carry out the value of local wisdom in persistent and continuous until now. Because the context of local wisdom applies to the local environment, based on local community thinking and who influence it, so that in each local wisdom to the other will be different and local in characteristic [6] and [2] So it needs a study of the wisdom of architectural locality regarding the wisdom values that can be applied in accordance with today conditions. Thus, architectural civilization is not trapped in the past, as science and architecture continue to evolve, automatically there will be changes in the development. ...... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yakni; lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan ruang interaksi tempat peristiwa atau situasi tersebut terjadi, sedangkan kearifan wisdom sama dengan kebijaksanaan atau dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local, nilai-nilai, pandangan-pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ... Budhi LilyTimor Raya Restaurant comes from the proliferation of places that offer rental services of wedding packages in the city. The initial function of this restaurant was a venue for weddings with supported interior concept. As the time goes by, the restaurant also rented out for other events such as birthdays, graduations, meetings and gathering severance and other events that makes the interior concept incompatible anymore with such events. Flexibility of the interior space is the main problem of this restaurant and to study about it can use the "liquid" philosophy at the meaning of sirih pinang as a local wisdom potential. The purpose of this study is to present an interior design of Timor Raya Restaurant with "liquid" concept that can provide solutions to respond to some of the functions contained. Data collection method is done by observation and interviews and analyze with qualitative method to each element of the interior with the "liquid" concept. The results showed that by the application of "liquid" concept against every element make the interior concept of Timor Raya Restaurant can adjust to every event Liquid, interior, Timor Raya RestaurantAbstrack Restoran Timor Raya hadir dari maraknya tempat-tempat yang menawarkan jasa penyewaan paket pernikahan di Kota Kupang. Fungsi awal restoran ini adalah sebagai tempat berlangsungnya acara pernikahan dengan konsep iterior yang mendukung. Berjalannya waktu restoran ini disewakan juga untuk acara-acara lain seperti ulang tahun, wisuda, pertemuan dan temu pisah serta acara lainya yang mengakibatkan konsep interior yang ada tidak cocok dengan acara-acara tersebut. Masalah fleksibilitas ruang interior merupakan masalah utama dari restoran ini dan untuk mengkajinya dapat menggunakan filosofi âcairâ pada makna sirih pinang sebagai potensi kearifan lokal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghadirkan sebuah desain interior Restoran Timor Raya dengan konsep âcairâ yang dapat memberikan solusi untuk merespon beberapa fungsi yang diwadahi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara serta menganalisisnya dengan metode kualitatif terhadap setiap elemen interior dengan konsep âcairâ. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi konsep âcairâ terhadap setiap elemen membuat konsep interior Restoran Timor Raya dapat menyesuaikan dengan setiap acara yang kunci Cair, interior, restoran timor rayaDewi MerdayantyKelurahan Sungai Jingah berbatasan dengan Sungai Martapura, dimana kondisi sungai ini hampir menetap sepanjang tahun dan mengalami musim pasang â surut yang tidak begitu lama sangat bermafaat bagi transportasi air dan lokasi jual beli di atas perahu, namun manfaat air sungai mulai berkurang dengan dibuatnya sarana dan prasarana darat seperti pembangunan jalan dan jembatan, masuknya air PDAM menggantikan manfaat air sungai untuk keperluan sehari-hari membuat lokasi sungai sepi aktivitas masyarakat, mengakibatkan pelaku usaha perahu/kapal sungai baik sebagai alat transprotasi dan alat angkut bagi jual-beli gulung tikar. Suasana seperti ini diperlukan dorongan Pemerintah agar masyarakat selalu kreatif dan inovatif melalui upaya pengembangan keunggulan setempat, seperti pengembangan pariwisata kampung tua rumah banjar, museum wasaka, kampung sasirangan, mawarung baimbai, agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk, kebun sehat, taman satwa, pengrajin akar pasak bumi dan budidaya madu sisi kekuatan untuk tatakelola potensi wisata Kelurahan Sungai Jingah cukupbanyak mempunyai lahan untuk pariwisata untuk dapat dikembangkan, kelemahan yang dimiliki sekarang seperti kurangnya sarana dan prasarana dalam mendukung dan mengembangkan pariwisata. Adapun peluang untuk pengembangan dan tatakelola wisata tersebut sangat tinggi karena pemasaran dan dukungan masyarakat yang cukup tinggi, sedangkan tantangan dalam mengelola potensi wisata adalah persaingan harga pasar dan kualitas bahan seperti halnya dalam pembuatan kain sasirangan dan pada kuliner harus mampu mempertahankan harga dan rasa agar dapat memberikan kepuasan kepada konsumen dan tidak membuat mereka merasa kecewa. Dari wisata kampung tua menuju wisata mesium wasaka dan wisata kuliner mawarung baimbai serta witasa kampung sasirangan dan agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk dapat dilakukan melalui susur sungai namun perlu adanya dukungan Pemerintah terutama dalam hal pengerukan sungai yang akan dilewati untuk kenyamanan dan kelancaran wisata susur sungai bagi Nurina Kartika IskandarCama Juli RianingrumAhadiat Joedawinatap>Abstract Baitul Muttaqien Mosque is one of the mosques in Indonesia, precisely in Samarinda, East Kalimantan with a variety of facilities and infrastructure in its interior, so it is dubbed the Islamic Center Mosque. The application of architectural and interior elements applied reflects two different cultures namely Middle Eastern culture and local culture, East Kalimantan. This is not just to beautify the mosque building, but there is a philosophical content contained in the two different cultural elements. Keywords culture, architecture and interior of the mosque, Islamic architecture, Baitul Muttaqien mosque Samarinda. Abstrak Masjid Baitul Muttaqien merupakan salah satu Masjid di Indonesia tepatnya di Samarinda, Kalimantan Timur dengan berbagai sarana dan prasarana yang ada didalamnya sehingga dijuluki Masjid Islamic Center. Penerapan elemen arsitektur dan interior yang diaplikasikan mencerminkan dua kebudayaan yang berbeda yaitu budaya Timur Tengah dan budaya lokal yakni Kalimantan Timur. Hal ini bukan sekedar untuk memperindah bangunan masjid itu saja, akan tetapi ada muatan filosofis yang dikandung dari kedua unsur budaya yang berbeda tersebut. Kata kunci Kebudayaan, Arsitektur dan interior masjid, arsitektur Islam, masjid Baitul Muttaqien Samarinda.
Studiekonometrik menggunakan data antar negera selama kurun waktu tahun 1960 - 1990 yang dilakukan oleh Barro (1996) menemukan bahwa keterkaitan antara demokrasi dan kesejahteraan ekonomi suatu negara, lebih merupakan hubungan antara demokrasi dan variabel-variabel pertumbuhan ekonomi yang lain seperti: âą Proceeding Semnas FISIP-UT 2011 19
- Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan, serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Secara etimologi, kearifan lokal local wisdom terdiri dari dua kata, yakni kearifan wisdom dan lokal local. Sebutan lain untuk kearifan lokal di antaranya adalah kebijakan setempat local wisdom, pengetahuan setempat local knowledge dan kecerdasan setempat local genious. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Kata "lokal", yang berarti "tempat" atau "pada suatu tempat", terdapat hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain, atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal. Definisi Menurut Para Ahli1. Rahyono Rahyono dalam Kearifan Budaya dalam Kata 2009 mendefinisikan kearifan lokal sebagai kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal disini adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. 2. Yudie Apriyanto Menurut Yudie Apriyanto, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka, pedoman ini bisa tergolong dalam jenis kaidah sosial, baik secara tertulis ataupun tidak tertulis. Akan tetapi yang pasti setiap masyarakat akan mencoba mentaatinya. 3. Robert Sibrani Pengertian kearifan lokal antropologlinguistik Robert Sibarani adalah suatu bentuk pengetahuan asli dalam masyarakat yang berasal dari nilai luhur budaya masyarakat setempat, untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat atau dikatakan bahwa kearifan lokal. 4. Tjahjono dan kawan-kawan Pengertian kearifan lokal menurut Tjahjojo dkk. dalam penelitiannya berjudul Pola Pelestarian Keanekaragaman Hayati Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat Sekitar Kawasan TNKS di Propinsi Bengkulu 2000 adalah suatu sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan. 5. Sonny Keraf Pengertian kearifan lokal menurut Keraf adalah mencapuk semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya didalam komunitas ekologis. Dari pengertian kearifan lokal menurut para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan setempat. Jadi, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan berbudi luhur, yang dimilki, dipedoman dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat. Fungsi Kearifan LokalKearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang dihadapi. Berkat kearifan lokal, mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan. Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar, sebagai mana mengutip Rohaedi Ayat dalam Kepribadian Budaya Bangsa 1986, adalah sebagai berikut - Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya luar- Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar- Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli- Memberi arah pada perkembangan juga Apa Itu Teori Asimilasi dan Pengertiannya Menurut Para Ahli? Mengenal Hubungan Antarbudaya Akulturasi dan Asimilasi - Pendidikan Kontributor Ahmad EfendiPenulis Ahmad EfendiEditor Yandri Daniel Damaledo
Merekajuga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. dimana didalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat. demokratisasi gelombang kedua yang terjadi antara 1943-1962, dan demokratisasi
Rekomendasi jawaban terbaik dari pertanyaan Anda yang diulas oleh di bawah iniJawabanHubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkungan yaitu kearifan lokal terbentuk karena keunggulan keadaaan geografis suatu wilayah sehingga dapat tercipta kearifan lokal pada daerah Hallo teman- teman BrainlyLovers!!! pada waktu luang kali ini kita bersama- sama akan mencoba menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran sekolah menengah atas mata pelajaran sosiologi. Semangat belajar yaa teman- teman semoga sukses!!!kearifan lokal merupakan sebuah produk kebudayaan sejak masa lalu yang pantas secara berkesinambungan dijadikan pegangan hidup. Walaupun bernilai lokal namun nilai yang terdapat pada kearifan lokal sudah dianggap sangan universal. Kearifan lokal ialah perilaku positif masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya yang dapat bersumber dari adat istiadat, nilai- nilai agama, petuah nenek moyang ataupun budaya setempat yang sudah terbentuk secara alamiah pada suatu komunitas masyarakat untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkungan yaitu kearifan lokal terbentuk karena keunggulan keadaaan geografis suatu wilayah sehingga dapat tercipta kearifan lokal pada daerah lebih lanjut Adik-adik semua masih kepingin belajar materi sosiologi kan? Yuk adik-adik cek link di bawah ini yaa!!! Semoga dapat membantu adik-adik dalam belajar dan semoga membantu pengendalian sosial pada saat terdapat demostrasi dengan cara pada link berikut kebudayaan yang berpengaruh terhadap kebudayaan pada link berikut dari koersi, mediasi, kompromi pada link berikut jawaban Kelas 11Mapel sosiologiBab kebudayaan dan multikulturalismeKode kunci kearifan lokal, kondisi geografis, kebudayaanIowaJournalist Indonesia PastiBisa PintarBelajar DuniaBelajar Pendidikan Sekolah AyoBelajar TanyaJawab AyoMembaca AyoPintar KitaBisa DuniaPendidikan IndonesiaMajuSekian informasi yang dapat rangkumkan perihal tanya-jawab yang telah kalian ajukan dan cari. Jika kalian membutuhkan Info lainnya, silahkan pilih kategori rangkuman di atas bisa bermanfaat untuk teman-teman semua dalam mencari jawaban.
DiIndonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang terwujud dalam berbagai bidang kehidupan seperti nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya. Hal ini bisa dilihat pada kearifan lokal mengenai keselarasan alam yang telah menghasilkan pendopo dalam arsitektur Jawa.
ï»żHubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkunganKearifan lokal yang tumbuh dan berkembang disekitar lingkungan masyarakat merupakan hasil cerminan dari kondisi geografis di lingkungan sekitar. Kearifan lokal merupakan suatu produk pada zaman dahulu dan patut untuk dijadikan sebagai pandangan hidup dimasa Sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang memiliki objek kajian berupa masyarakat dan memiliki fokus pembahasan berupa kehidupan sosial dan gejala - gejala sosial yang terdapat disekitar lingkungan masyarakat. Suatu ilmu sosiologi memiliki ciri - ciri diantaranya Kumulatif, teori sosiologi yang kita ketahui kini merupakan hasil pengembangan dari teori sosiologi yang sudah ada sebelumnyaBerisfat non etis, suatu ilmu sosiologi merupakan suatu ilmu yang berusaha untuk mengungkap suatu fakta terhadap fenomena - fenomena sosial yang terdapat disekitar lingkungan masyarakatEmpiris, suatu ilmu sosiologi bermula dari hasil suatu penelitian atau observasiTeoritis, suatu ilmu sosiologi merupakan suatu ilmu yang bersifat abstrak yang disusun berdasarkan hasil pengamatan empirisAdapun sifat dan hakikat suatu ilmu sosiologi antara lain Sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan Sosiologi merupakan suatu ilmu sosialSosiologi merupakan suatu ilmu yang katagorisSosiologi merupakan suatu ilmu yang bersifat abstrakSosiologi merupakan suatu ilmu yang murniSosiologi merupakan suatu ilmu yang rasionalSosiologi merupakan suatu ilmu yang dapat menghasilkan suatu pengertian - pengertian baruPelajari lebih lanjut 1. Pengertian sosiologi 2. Contoh sosiologi 3. Contoh sosiologi statis Detail jawaban Kelas 10 Mapel Sosiologi Bab Sosiologi dalam kehidupan Kode
Kemukakanhubungan antara kearifan lokal dan kondisi geografis! Jawab: Terdapat hubungan erat antara kearifan lokal dan kondisi geografis atau lingkungan alam. Nilai-nilai dalam kearifan lokal menjadi modal utama dalam membangun masyarakat tanpa merusak tatanan sosial dengan lingkungan alam.
â Geografis merupakan istilah yang sudah tidak asing didengar. Istilah geografi berasal dari bahasa Yunani âgeoâ yang berarti bumi dan âgraphyâ yang berarti menulis. Sehingga geografi mengajarkan manusia mempelajari bumi tempat mereka tinggal dan kondisi di dalamnya. Bumi memiliki karakteristik geografis yang berbeda di setiap daerahnya. Ada kutub utara dan kutub selatan yang diselimuti es sepanjang tahun, ada daerah gurun, ada daerah pegunungan, ada lautan, ada hutan hujan dan lanskap geografis geografis suatu wilayah dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya. Hal ini mampu membentuk kehidupan sosial masyarakat. Dilansir dari National Geographic, sistem fisik dan karakteristik lingkungan tidak dengan sendirinya menentukan pola aktivitas manusia, namun memengaruhi dan membatasi pilihan yang dibuat orang. Berikut pengaruh karakteristik geografis, yaitu Perbedaan siang dan malam Posisi geografis di bumi sangat memengaruhi kehidupan sosial maupun budaya. Misalkan Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan Islandia yang terletak dekat dengan kutub utara. Baca juga Karakteristik Geografis Malaysia Letak geografisnya membuat Indonesia memiliki siang selama 12 jam, tetapi Islandia hanya memiliki siang selama 3-5 jam. Hal tersebut membuat masyarakat Islandia harus beradaptasi dengan kegelapan. Mereka bangun dibantu dengan alarm, karena matahari tidak muncul saat pagi. Mereka menyalakan lampu dalam waktu yang lama, sehingga pemerintahnya juga menyediakan listrik dengan murah. Orang Islandia terbiasa melakukan segala macam aktivitas dalam kondisi gelap seperti malam. Sedangkan di Indonesia, sinar matahari bisa membantu manusia untuk bangun. Pergi sekolah, bekerja, berolahraga, dan bertemu teman dalam kondisi langit yang terang. Lalu saat malam gelap datang, seseorang bisa beristirahat. Terdapat perbedaan aktivitas siang dan malam. Namun, di Islandia matahari tidak bisa dijadikan patokan aktivitas. Perbedaan iklim Di bumi, menurut kondisi geografisnya masing-masing daerah dibagi ke dalam empat iklim. Keempat iklim tersebut adalah iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin. Dilansir dari Sociology Discussion, iklim memberikan pengaruh yang tidak dapat disangkal misalnya jenis pakaian yang digunakan. Baca juga Karakteristik Geografis ThailandJenis pakaian digunakan agar manusia bisa bertahan dalam kondisi iklim. Selain jenis pakaian, iklim juga memengaruhi sistem transportasi, masa panen dan bercocok tanam, infastruktur, juga keperluan rumah tangga untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan. Iklim juga memangaruhi kebudayaan manusia, misalnya pemakaman. Misalnya di daerah yang dingin dan dilapisi es, penguburan dalam tanah sulit dilakukan. Tanah yang jarang dan kondisi yang dingin membuat jenazat sulit terdekomposisi. Di Tibet yang dingin bahkan ada suatu kebudayaan yang disebut pemakaman langit. Yaitu pemakaman dengan cara memberikan jenazah pada burung nasar untuk dimakan agar orang tersebut bisa pergi ke surga dengan tenang. Topografi Dilansir dari Sciencing, topografi merupakan strudi tentang relief yang menggambarkan ketinggian dan elemen geografis seperti sungai, danau, gunung, juga kota. Kondisi topografi kota cenderung mudah dijamah sehingg orang dari luar bisa masuk bersama dengan teknologi juga kebudayaannya. Hal tersebut membuat kota cenderung lebih maju dan dihuni oleh heterogen dengan kebudayaan yang berbeda. Adapun kondisi topografi yang sulit dijamah, misalnya daerah pegunungan tinggi atau pedalaman hutan tanpa jalan utama. Daerah tersebut cenderung terisolasi dari lingkungannya, membuat orang dari luar susah untuk menjangkaunya. Daerah tersebut cenderung masih belum maju karena sulit terjangkau teknologi. Masyarakatnya juga cenderung homogen dengan kebudayaan yang masi kental. Baca juga Karakteristik Geografis Singapura Ketersediaan air Seseorang yang tinggal di daerah cukup air bersih, akan menganggap air seperti hal biasa. Mereka menggunakan air untuk kebutuhan hidup dan juga kebersihan. Toilet menjadi sumber air yang bersih, beberapa daerah bahkan air kerannya bisa diminum. Mandi juga menjadi suatu kebiasaan wajib bagi mereka. Namun di daerah yang kekurangan sumber air bersih, air dianggap dengan barang yang sangat berharga. Mereka harus jalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air yang belum tentu bersih. Sehingga penggunaan air juga dilakukan seminimal mungkin. Mereka jarang mandi, air digunakan untuk kebutuhan yang lebih esensial seperti minum dan memasak. Hal ini membuktikan bahwa kondisi geografis bukan hanya mempengaruhi pola hidup dan budaya, melainkan juga persepsi seseorang terhadap sesuatu. Baca juga Jenis-Jenis Pekerjaan Berdasarkan Letak Geografis Ketersediaan sumber makanan Kondisi geografis memengaruhi ketersediaan sumber makanan seperti hewan dan tumbuhan. Masyarakat yang tinggal di pegunungan, memiliki berbagai tumbuhan dan hewan darat untuk dikonsumsi. Masyarakat yang tinggal di pantai, cenderung mengonsimsi lebih banyak ikan dan hasil laut. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
terkaitdengan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi. Datangnya Revolusi Industri 4.0 adalah periode baru dengan perubahan yang mendalam dan transformatif. Transformasi Industri 4.0 melaju dengan kecepatan yang eksponensial, tidak linear. Karena itu, dunia perlu menanggapi Industri 4.0 dengan pendekatan
Skip to contentJakartaTangerangBekasiPendaftaranBeasiswaAkses CepatSistem Informasi AkademikBlog DosenBlog MahasiswaDigital LibraryE-JurnalGreen CampusLowongan Universitas Esa UnggulMBKMNewsletterOnline LearningOrang TuaRepositorySeminar WebTalkshow RadioKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKEARIFAN LOKAL, PENGETAHUAN LOKAL DAN DEGRADASI LINGKUNGANErwan Baharudin Fakultas Ilmu Komunikasi â Universitas Esa Unggul, Jakarta Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510 Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, amanat konstitusi tertinggi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, âBumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatâ, ternyata menjadi ambivalensi dan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya. Arah pembangunan yang ditujukan pada peningkatan ekonomi perkapita, menyebabkan pemihakan oleh pihak investor melalui Negara cq pemerintah yang menghalalkan pengeksploitasian lingkungan dan memarjinalisasikan masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal sendiri mempunyai kepentingan masalah ekonomi, mereka banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian terjadilah kontestasi antara pihak-pihak yang terkait dengan kepentingannya dalam mengeksploitasi sumberdaya alam. Dengan kemajuan teknologi, eksploitasi tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke baik oleh Negara, perusahaan dan masyarakat sendiri. Hal itu dengan sendirinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan terjadilah bencana alam yang memakan korban. Bencana alam tersebut ada dua penyebab, yang pertama karena ulah manusia dan yang kedua merupakan fenomena alam. Dengan adanya kearifan dan pengetahuan lokal, maka bencana alam yang terjadi bisa diminimalisir baik materi maupun immateri. Meskipun pengetahuan local tersebut banyak diperdebatkan dalam dunia keilmiahan reason, tetapi dari beberapa kejadian, pengetahuan local unreason tersebut tidak dapat diabaikan keberadaannya. Kata Kunci Eksploitasi, Degradasi Lingkungan, Kearifan dan Pengetahuan Lokal PendahuluanSumberdaya alam darat dan laut merupakan aset yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat baik dari aspek ekonomi, so-sial, hukum dan politik. Sumberdaya alam terdiri dari sumber alam yang bisa diper-barui seperti hutan, perikanan, dan lain-lain, dan sumber alam yang tidak bisa di-perbarui seperti minyak, batu bara, gas alam, dan lain-lain. Dari sudut pemakaian sumberdaya alam yang tidak bisa diperba-rui harus dikelola dan dipakai secara bijak-sana. Oleh sebab itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, âBumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatâ. Dalam pengelolaannya, antara negara dengan maÂsyarakat lokal banyak sekali terjadi kon-flik-konflik, yang biasanya berawal dari aktivitas eksploitasi dan terjadinya degraÂdasi lingkungan, seperti semakin menipis-nya hutan, rusaknya komoditas laut akibat pengeboman oleh nelayan, dan lain-lain. Hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya berkaitan erat dengan proses perkembangan suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada ling-kungannya akan berpengaruh balik ter-hadap ekologi yang ada di sekitarnya yang bisa berarti positif dan negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang dilakuÂkan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Sejalan dengan pengelolaan sum-berdaya alam secara lestari adalah penting untuk bisa mengembangkan gaya dan pola hidup yang serasi dengan kemampuan daya dukung alam. Dalam hubungan ini maka pengembangan teknologi yang serasi deÂngan keperluan menyerap tenaga dan pe-ningkatan daya dukung alam menjadi penting. Persoalaannya adalah bahwa dunia internasional mengembangkan teknologi yang padat modal dan hemat tenaga kerja sesuai dengan kondisi Negara maju yang banyak melahirkan inovasi dan teknologi baru. Sebaliknya Negara Negara dunia ke-tiga kurang memiliki modal dan kesem-patan menyebarluaskan teknologi yang lebih serasi dengan lingkungan tanah air-nya. Disamping itu keadaan persaingan dunia dan desakan waktu mendorong maÂnusia untuk memperhatikan dan kemajuan tekÂnologi dari waktu ke waktu sangat mem-pengaruhi perubahan-perubahan dan per-tumbuhan masyarakat, urbanisasi, per-tanian, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain tidak terlepas dari pertumbuhan ruang lingkup kebudayaan dalam suatu dalam lingkunganSecara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem-sistem. Dalam ekologi juga manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan. Dengan de-mikian manusia adalah satu kesatuanterpadu dengan lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional sedemikian rupa. Dalam hubungan fungÂsional tersebut manusia dan lingkuÂngan terdapat saling ketergantungan dan saling pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara kese-luruhan. Untuk mencapai keselarasan, ke-serasian, dan keseimbangan antar subsisÂtem dalam ekosistem diperlukan sistem peÂngelolaan secara terpadu. Sebagai suatu ekosistem, lingkungan hidup mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda Politik pembangunan â terutama-di negara-negara berkembang yang lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonoÂmi untuk mengejar kesejahteran rakyat sering mendatangkan permasalahan di bi-dang lingkungan. Permasalahan lingkungan ini biasanya bersumber pada dorongan untuk memanfaatan secara terus menerus dan belebihan sumber daya alam tanpa memperhatikan daya dukung sumber daya alam tersebut. Untuk mengejar kemakmu-ran, sumber daya alam dipandang sebagai faktor produksi untuk mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi, tanpa memperhatiÂkan ini alam di Indonesia banyak mengalami perubahan lingkungan, banyak musibah seperti banjir besar, tanah longsor, satwa yang menyerang manusia. Jika lingkungan yang sekarang ini diban-dingkan dengan 20 tahun yang lalu, terjadi perbedaan yang sangat timpang, dimana terasa sekali terjadinya perubahan perubaÂhan lingkungan seperti kota maupun desa semakin padat dan kotor, kendaraan ber-motor semakin banyak dan menyebabkan polusi, hutan semakin sempit dan gundul, bukit bukit juga semakin berkurang kerin-dangannya, musim kemarau lebih panas, dan pada musim hujan terjadi banjir orang menyatakan bahwa biang kerusakan lingkungan alam sejauh berhubungandengan manusia adalah akti-vitas-aktivitas industri kapitalis modern. Desakan persaingan di bidang industri yang merupakan prinsip kapitalisme melahirkan berbagai tindakan yang lepas kontrol dalam pendayagunaan atau pengolahan sumber daya alam untuk kebutuhan industri dan dalam penerapan teknologi industri yang tidak mempertimbangkan kondisi alam. PeÂnerapan teknologi canggih dalam industri memungkinkan pengolahan sumber daya alam secara cepat dan ekstensif. Dengan demikian terjadi percepatan dalam proses mengakumulasi modal dan konsumsi. Inilah logika kapitalisme. Tetapi logika itu bermuara secara tragis pada percepatan tempo kehidupan secara total. Kapitalisme memang menciptakan kelimpahruahan materi, tetapi di balik kelimpahruahan ter-sebut ada beban berat yang dipikul oleh bu-mi, yaitu kerusakan ekologis, yang dalam jangka panjang menggiring kepada kehan-curan ekologis, dan akhirnya kehancuran manusia itu dua faktor penyebab terja-dinya degradasi lingkungan hidup, pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah pemerintah, perusahaan dan penduduk seÂtempat yang mengeksploitasi hutan/ lingÂkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Faktor penyebab tersebut be-rikut ini bersifat tidak Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas âpangan, sandang dan papan rumahâ. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yangpada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liarKebijakan Pemerintah. Bebe-rapa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap LH. Sejak tahun 1970, pembangunan Indonesia dititikberatkan pada pembangunan industri yang berbasis pada pembangunan pertanian yang menyo-kong industri. Keinginan pemerintah Orde Baru saat itu yang segera ingin mewujud-kan Indonesia sebagai negara industri, telah menyebabkan rakyat miskin mayoritas penduduk terutama yang tidak memiliki lahan yang cukup hanya menjadi âpenon-tonâ pembangunan. Bahkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencarian sebagai buruh tani dan nelayan karena masuknya teknologi di bidang pertanian dan peri-kanan. Mereka ini karena terpaksa mengga-rap tanah negara secara liar di daerah pesisir hingga pegununganDampak In-dustrialisasi. Dalam proses industrialisasi ini antara lain termasuk industri perkayuan, perumahan/real estate dan industri kertas. Ketiga industri tersebut di atas memerlukan kayu dalam jumlah yang besar sebagai bahan bakunya. Inilah awal mula eksploiÂtasi kayu di hutan-hutan, yang melibatkan banyak kalangan terlibat di dalamnya. Ke-untungan yang demikian besar dalam bisnis perkayuan telah mengundang banyak pe-ngusaha besar terjun di bidang ini. Namun, sangat disayangkan karena sulitnya pe-ngawasan, banyak aturan di bidang pe-ngusahaan hutan ini yang dilanggar yang pada gilirannya berkembang menjadi se-macam âmafiaâ perkayuan. Semua ini terÂjadi karena ada jaringan kolusi yang rapi antara pengusaha, oknum birokrasi dan ok-num keamanan. Sementara itu penduduk setempat yang perduli hutan tidak berdaya menghadapinnya. Akibat lebih lanjut penÂduduk setempat yang semula peduli dan mencintai hutan serta memiliki sikap moral yang tinggi terhadap lingkungan menjadi frustasi, bahkan kemudian sebagian darimereka turut terlibat dalam proses âillegal loggingâ tersebut. Masalah tersebut di atas di era pemerintahan Orde Reformasi seka-rang ini masih terus berlanjut, bahkan semakin marak dan melibatkan sejumlah pihak yang lebih banyak dibandingkan dengan era Orde Baru. Uang yang berlim-pah dari keuntungan illegal logging ini telah membutakan mata hati/dan moral ok-num-oknum birokrat dan penegak hukum yang terlibat atas betapa pentingnya man-faat hutan dan lingkungan hidup yang les-tari, untuk kehidupan semua makhluk, khu-susnya manusia generasi sekarang dan yang akan dan ReklaÂmasi yang Gagal. Upaya reboisasi hutan yang telah ditebang dan reklamasi lubang/ tanah terbuka bekas galian tambang sangat minim hasilnya karena prosesnya memer-lukan waktu puluhan tahun dan dananya tidak mencukupi karena banyak disalahgu-nakan. Hal ini membuktikan bahwa penge-tahuan dan kesadaran atas pentingnya pelestarian lingkungan hidup, baik di kala-ngan pejabat maupun warga masyarakat sangat rendah. Kebakaran hutan reboisasi diduga ada unsur kesengajaan untuk me-ngelabui reboisasi yang tidak sesuai ketentuan manipulasi reboisasi.Me-ningkatnya Penduduk Miskin dan Pengang-guran. Bertambah banyaknya penduduk miskin dan pengangguran sebagai akibat dari pemulihan krisis ekonomi yang hingga kini belum berhasil serta adanya kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak populis seperti penghilangan subsidi untuk sebagian kebutuhan pokok rakyat, pening-katan tarif BMM, listrik, telepon dan lain-lain, merupakan faktor pemicu sekaligus pemacu perusakan lingkungan oleh penÂduduk miskin di pedesaan. Gejala ini juga dimanfaatkan oleh para spekulan penduduk kota untuk bekerja sama dengan penduduk miskin pedesaan. Sebagai contoh menga-lirnya kayu jati hasil penebangan liar dari hutan negara/perhutani ke industri meubeldi kota-kota besar di Pulau Jawa, sebagai satu bukti dalam hal ini. Peningkatan jum-lah penduduk miskin dan pengangguran diperkirakan akan memperbesar dan mem-percepat kerusakan hutan/lingkungan yang makin parah. Hal ini merupakan lampu merah bagi masa depan generasi kitaLemahnya Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan lingÂkungan dan khususnya hutan, namun im-plementasinya di lapangan seakan-akan tiÂdak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan peraÂturan yang telah dibuat. Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah mele-mahkan proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga mengesankan peraÂdilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendah-nya komitmen dan kredibilitas moral aparat penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin ma-raknya perusakan hutan/ Masyarakat yang Rendah. KesaÂdaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelesÂtarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang lingÂkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini dipandang penting, karena ku-rangnya pengetahuan masyarakat atasfungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin ma-syarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan Lingkungan. Pencemaran lingÂkungan baik pencemaran air, tanah maupun udara justru di era reformasi ini terutama di Pulau Jawa semakin memprihatinkan. DisiÂplin masyarakat kota dalam mengelola sampah secara benar semakin menurun. Banyak onggokan sampah bukan pada tem-patnya. Para pelaku industri berdasarkan hasil penelitian tidak ada yang mengelola sampah industri dengan baik. Sebanyak 50% dari 85 perusahaan hanya mengelola sampah berdasarkan ketentuan minimum. Sebanyak 22 perusahaan 25% mengelola sampah tidak sesuai ketentuan bahkan ada 4 perusahaan belum mengendalikan penÂcemaran dari pabriknya sama sekali. Pencemaran udara semakin meningkat ta-jam di kota-kota besar, metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan CO2 dari kendaraan yang lalu lalang semakin meÂningkat sejalan dengan pertambahan jum-lah kendaraan itu sendiri. Dengan dipro-duksinya kendaraan murah yang dijual secara kredit, akan menambah lonjakan jumlah kendaraan, hal ini akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dam-paknya akan terjadi lonjakan tingkat penÂcemaran udara yang luar sebagai lembaga ter-tinggi dalam suatu Negara berwenang un-tuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk meng-implementasikan hal tersebut maka pemeÂrintah melakukan hal-hal sebagai berikutmengatur dan mengembangkan kebijak-sanaan dalam rangka pengelolaan lingÂkungan hidupmengatur penyediaan,peruntukan,penggunaan,pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali sum-ber daya alam, termasuk sumber perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetikamengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosialmengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlakuTetapi, akibat derasnya arus kapi-talisme global telah mendorong intervensi dari negara untuk melakukan proses regu-lasi. efek yang ditimbulkan adalah terja-dinya konspirasi antara penguasa modal dengan birokrasi untuk memuluskan proses eksploitasi sumber daya alam dengan dalih investasi untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara itu masyarakat lokal, mem-punyai cara yang berbeda dalam meng-eksploitasi lingkungan, sehingga menim-bulkan konflik lingkungan ini yaitu adanya kebijakan pemerintah yang dilak-sanakan oleh pengusaha seringkali tidak memihak kepada masyarakat. Selain itu daÂlam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, seringkali masyarakat tidak dilibatkan, padahal dalam kebanyakan ka-sus-kasus lingkungan korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun ini menunjukkan bahwa posisi antara negara dengan masyarakattidak berimbang dan masing masing terlihat mempunyai kepentingan yang ber-beda-beda, baik di daerah rural maupun urÂban. Degradasi lingkungan tersebut harus disadari akan merusak infrastruktur pere-konomian dan mengganggu kehidupan so-sial. Di wilayah perkotaan ditandai oleh semakin tingginya pencemaran udara serta semakin meluasnya wilayah perkotaan yang tercemari dengan pencemaran udara tersebut. Kondisi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya kerusakan sumberdaya alam maupun banyaknya industri pen-cemar, sejalan dengan pertumbuhan eko-nomi maupun perkembangan penduduk. Di daerah rural degradasi lingkungan bisa terlihat salah satunya dengan makin me-nipisnya kawasan perhutanan yang diaki-batkan oleh kebakaran maupun pemba-lakan liar oleh toke toke dan juga masya-rakat sekitar. Adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan bencana tersebut, akan bisa diminimalisir apabila ada kerjasama penge-lolaan sumberdaya alam antara Pemerintah Negara dengan perangkatnya, dan masya-rakat lokal dengan kearifan dan penge-tahuan local yang Kearifan dan Pengetahuan Lokal dalam MasyarakatNygren 1999 mengemukakan PeÂngetahuan lokal merupakan istilah yang problematik. Pengetahuan local dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan local tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barat. Titik temu antara pengetahuan local yang tidak ilmiah dan yang ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka sendiri. PengeÂtahuan local dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. PengeÂtahuan dalam bentuk pragmatis menyang-kut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam, dan dalam benÂtuk supranatural, ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah tidak ilmiah unÂreason. Untuk yang pragmatis ini, pe-ngetahuannya berubah, karena berhu-bungan dengan pihak lain dari wilayah-nya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki meto-dologi dan dapat diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan tidak memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar meme-lihara perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan lokal negara timur, yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme antara barat dan dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupaÂkan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler, 2007, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, buÂdaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah buÂdaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah kearifan local adalah yang dilakukan di kawasan kars gunung sewu. Masyarakat di Kawasan Kars Gunung Kidul sebagian besar memiliki mata penca-harian sebagai petani yang memanfaatkan lahan-lahan di sekitar cekungan-cekungan kars doline sebagai lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat. Lahan pertanian dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan teknologi-teknologi konvensional yang telah mereka pelajari dari zaman nenek moyangnya secara turun-temurun dan dikembangkan secara tradisional untuk mencapai hasil yang lebih baik sesuai deÂngan perkembangan dan perubahan lahan. Kebutuhan akan air sebagai penyubur lahan pertanian di kawasan ini menjadi permasa-lahan yang dialami oleh para petani dalam mengelola lahannya, ketersediaan sumber-daya alam yang ada memberikan pilihan kepada masyarakat untuk dapat mengelola-nya secara manual, kondisi ini mengakibat-kan adanya usaha-usaha masyarakat dalam mengelola sumber daya air yang ada di permukaan dan bawah permukaan secara tradisional dengan memanfaatkan kearifan-kearifan lokal baik yang mengandung unsur mitos atau kepercayaan dan kebuda-yaan-kebudayaan sebagai tatanan kehidu-pan masyarakat yang berlaku di sekitar kawasan Gunung harus memperlakukan lingkungan di sekitarnya sebagai tempat tinggal yang telah memberikan segalanya untuk kita, sehingga ada tanggung jawab yang besar untuk menjaga dan menge-lolanya, pengembangan teknologi seder-hana di dalam mengelola sumberdayanya akan selalu dipertahankan untuk menjaga tradisi, memberi motivasi dan menjaga kepercayaan masyarakat dalam mengelola wilayahnya sehingga peran masyarakat sebagai kunci utama dalam menjaga ke-seimbangan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kearifan lokal harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan proÂgram-program pengembangan wilayah di kawasan kars untuk mendorong masyarakat sebagai pelaku utama dalam usaha me-ngembangkan sumberdaya alamnya. Di Gunung Kidul masyarakat sudah hidup selama bertahun-tahun dengan kondisi wilayah yang kekeringan dan kekuranganair walaupun memiliki cadangan air bawah permukaan yang sangat besar jumlahnya, faktor geologis pada wilayah ini sebagai kawasan batugamping yang mengalami proses pelarutan, mengakibatkan pada ba-gian permukaan kawasan ini merupakan daerah yang kering, masyarakat memanÂfaatkan sumber-sumber air dari telaga-te-laga kars dan gua-gua yang memiliki sumÂber-sumber air. Kearifan lingkungan maÂsyarakat Gunung Kidul dalam mengelola lingkungannya dilakukan secara bergotong royong untuk menjaga sumber-sumber air yang ada dengan melakukan perlindungan dan membuat aturan-aturan adat yang memberikan larangan-larangan kepada masyarakat ayang memberikan penilaian negatif dari dampak yang akan ditimbulkan bila tidak dilakukan, untuk dapat menjaga dan mengelola sumber-sumber air yang ada. Kebudayaan lokal pada suatu daerah harus tetap dijaga kelestariannya agar kondisi alamiah dari lingkungannya tetap terjaga, banyak program-program peme-rintah yang dilakukan di wilayah Gunung Kidul dalam usaha pemanfaatan dan penge-lolaan sumberdaya air bawah permukaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Gunung Kidul, tapi proÂgram-program yang telah dijalankan oleh pemerintah tidak menjadikan budaya lokal masyarakat sebagai referensi dalam menÂjalankan program pembangunan di wilayah ini, kawasan kars memiliki karateristik yang berbeda dari kondisi wilayah lainnya, proses pelarutan yang terjadi mengaÂkibatkan adanya perubahan karakteristik dari batugamping, banyak pembangunan infrastruktur sistem perpipaan yang seha-rusnya dapat menyuplai kebutuhan air untuk masyarakat menjadi tidak berfungsi pada waktu tertentu akibat dari pe-nyumbatan-penyumbatan aliran pipa yang di sebabkan oleh adanya proses pelarutan, pada batuan yang di lewati sumber airnya. Banyak danau-danau kars yang tidak dapatberfungsi lagi akibat adanya pembangunan waduk di sekitar danau dan dilakukan pengerukan untuk memperdalam tampu-ngan air dengan asumsi akan dapat me-nambah jumlah persediaan air, tapi justru hal ini harus di bayar mahal dengan hilang-nya atau tidak berfungsinya danau akibat dari hilangnya sumber air yang ada masuk ke bawah permukaan melalui rekahan-re-kahan batuan hal ini disebabkan oleh hiÂlangnya lapisan lumpur terarosa yang berÂfungsi sebagai penahan air. Sehingga ba-nyak sistem perpipaan dan penampung air yang dibangun hanya menjadi sebuah mo-numen yang tidak dapat berfungsi. Sejak zaman dahulu masyarakat di wilayah GuÂnung Kidul telah hidup dalam kondisi ke-keringan, namun mereka punya cara ter-sendiri untuk beradaptasi dengan alam di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hi-dupnya untuk kebutuhan sehari-hari dan lahan pertanian, ini terus berlangsung hing-ga sampai saat ini walaupun banyak orang yang sudah mulai meninggalkannya untuk mencari penghidupan di tempat lain yang biasanya di kota-kota besar, tetapi masyaÂrakat di Kawasan Kars Gunung Kidul tetap melakukan kearifan lingkungan yang sudah menjadi budaya lokal yang masih tetap dikembangkan oleh masyarakat setempat. Banyak kearifan lingkungan di wilayah ini yang menjadi program bagi masyarakat untuk mengelola lingkungan dan sumber-daya air serta untuk mengembangkan pari-wisata di kawasan kars baik wisata alam maupun wisata minat khusus gua. Petrasa Wacana, 2008.Masyarakat lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terja-dinya letusan. Hal tersebut antara lain menggunakan indikator berbagai jenis hewan liar yang turun lereng di luar kebia-saan dalam kondisi lingkungan normal. Secara etik, penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat me-ningkatnya tingkat aktivitas Gunung MeÂrapi sehingga mereka pindah itu, dalam menghindari ri-siko bencana Gunung Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan lokal dalam mem-bangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman tersebut bisanya berke-lompok di lahan datar dengan dikelilingi tegalan. Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang berlawanan deÂngan Gunung Merapi. Maksudnya, berda-sarkan pandangan mereka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk ha-lus pengganggu yang menghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dapat ditaf-sirkan bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama contoh kearifan ekologi masyarakat lokal dapat pula ditemukan di berbagai kelompok masyarakat lokal di Tatar Sunda. Di masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya dan Kampung Dukuh di Garut selatan, misalnya, pembangunan permukiman dan pemanfaatan lahan lain-nya senantiasa diatur secara tradisional deÂngan sistem zonasi. Dengan demikian, sisÂtem pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat diintegrasikan dalam analisis risiko lingkungan dan mitigasi bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan atau pandangan etik. Johan, 2009Kalau kita menengok ke belakang saat kita belum punya teknolo-gi, bagaimana cara bertahan hidup bangsa Indonesia pada zaman dahulu dalam menghadapi bencana? ada berapa contoh kea-rifan lokal yang telah menyelamatkan ba-nyak orang akan tetapi jarang diketahui orang. Sebagai contoh kearifan lokal yang menyelamatkan yang dikembangkan ma-syarakat pulau Simelue yang selamat dari tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyelamatkan ribuan manusia. Ma-syarakat Pulau Simelue belajar dari keja-dian bencana tsunami yang terjadi pada be-berapa puluh tahun yang lalu tahuh 1900 dan mengembangkan sistem peringatan di-ni dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju kebukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan ca-ra menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk pulau Simelue. Istilah ini yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat pulau Simelue padahal secara geografis le-taknya sangat dekat dengan pusat bencana. Masyarakat yang berasal dari pulau Simelue dan bekerja di sepanjang pantai barat Sumatra menjadi pahlawan karena menyelamatkan banyak orang dengan menyuruh dan memaksa orang segera ber-lari secepatnya menuju tempat yang tinggi begitu melihat air laut surut. Contoh keaÂrifan lokal ini sering dimuat di media dan disiarkan lewat media elektronik, walau begitu saat Pantai Pangandaran terkena tsuÂnami bulan Juli 2006 masyarakat setempat tidak segera lari meninggalkan pantai ma-lah mendekati pantai untuk mengambil ikan sehingga banyak korban tsunami saat itu. Contoh lain ditunjukkan oleh seorang KH Muzamil Hasan Basuni, pimpinan Pondok Pesantren ponpes Al Hasan yang terletak di Desa Kemiri, Panti, Jember karena kepedulian terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, beliau bisa meÂnyelamatkan 400 santrinya karena melihat keganjilan, dimana dalam kondisi hujan agak lebat tetapi air sungai tidak banjir lagi malah surut. Ternyata dibagian hulu telahterjadi longsor yang menutup atau mem-bendung sementara aliran sungai. Begitu bendung tanah jebol maka terjadi banjir bandang. Semua bisa melihat bagaimana seluruh kompleks pondok pesantren teren-dam lumpur dan banyak yang hancur berarti bangsa Indonesia bisa bertahan hidup dengan belajar langsung dari alam dan berusaha terus mengenal âniteniâ tingkah laku alam di sekitarnya, sehingga mereka menciptakan banyak keÂarifan lokal yang dianut oleh komunitas masyarakat sekitarnya. Kearifan lokal ini berkembang karena selama ratusan tahun secara geologi, klimatologis, geografi dan kondisi sosial demografi Indonesia rawan bencana gempa, tsunami, gunung api, longsor, rawan banjir, angin ribut, keke-ringan, kebakaran hutan, konflik sosial, penyakit menular dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya kearifan lokal mulai terpojokkan/terpinggirkan dikarena-kan datangnya ilmu pengetahuan dari barat. Hal ini terjadi karena kearifan lokal tidak punya bukti ilmiah yang bisa diterima secara rasional. Seperti kita ketahui bersama sekitar pertengahan bulan Juni 2006 G Merapi di Yogyakarta terjadi pe-ningkatan aktivitas sampai level siaga 1 dengan konsekuensi masyarakat yang ber-mukim di kawasan gunung merapi harus diungsikan. Pengungsian dimulai dengan bantuan aparat dan relawan. Adalah Mbah Marijan dan kerabatnya tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap te-nang-tenang saja. Kenapa mbah kok tidak ikut mengungsi? Mbah Marijan menjawab dengan tenang âMemang ada apa?, gunung Merapi saat ini belum mau meletus, masih batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak me-ngarah kesini. Jadi kenapa saya harus ribut, dan saya belum dapat wangsit dari eyang merapi. Mbah Marijan pun bisa melihat si-nar putih cleret yang keluar dari puncak gunung merapi menuju ke bawah yang menandakan akan keluarnya awan panas wedus gembel yang keluar searah dengan arah cleret. Bulan Oktober-Nopember 2007 gunung Kelud aktif dinyatakan pada level awas oleh pihak Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi PVMBG Bandung dan tegas-tegas mengatakan bah-wa secara teoritis dengan tingkat kegem-paan, perubahan temperature, tingkat de-formasi dan berdasarkan sejarah letusan di masa lampau maka mestinya gunung kelud sudah meletus. Oleh kerenanya semua orang yang bermukim di radius 10 km harus diungsikan. Bagi masayarakat yang pernah mengalami letusan tahun 1919, 1951, 1966 dan 1990 menolak mengungsi karena belum ada tanda-tanda alam seperti 1 turunnya he wan-he wan dari puncak, 2 burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi, 3 pohon-pohon di sekeliling kawah belum ada yang mati layu/kering. Dan lagi sang sesepuh seperti mbah Marijan yang dikenal dengan Mbah Ronggo mengatakan bahwa disamping beÂlum ada tanda-tanda tersebut, dia belum mendapatkan âwangsitâ. Apa yang dilaku-kan oleh mbah Ronggo dan masyarakat gunung kelud merupakan upaya masyaÂrakat lokal local wisdom untuk memaha-mi perilaku alamiah gunung berapi berdaÂsarkan pengalaman sejarah letusan Mbah Ronggo ngotot tidak mau mengungsi. Dan kita lihat bersama drama gunung kelud tidak diakhiri dengan letusan walau secara intrumental teknologi mestinya meleÂtus. Berdasarkan beberapa literatur perubaÂhan perilaku hewan seperti hewan-hewan langka turun gunung, hewan-hewan atau burung-burung terdiam tidak bersuara ada kesunyian atau binatang liar yang tiba-tiba menjadi mudah ditangkap atau binatang peliharaan yang bertingkah laku aneh di sangkarnya, sering muncul sebelum pe-ningkatan fase letusan gunung berapi. Ada berbagai kemungkinan penyebab kejadian ini antara laian karena adanya gelombang dan radiasi elektromagnetik yang keluarbersamaan dengan bergeraknya magma ke-atas sehingga menimbulkan regangan dan retakan. Akibat tekanan magma pada lapi-san batuan menimbulkan regangan dan berakibat munculnya gelombang elekÂtromagnetik, dan retakan yang menimÂbulkan radiasi magnetic. Gelombang dan radiasi elektromagnetik berfrekuensi ren-dah hingg tinggi. Rendah bila regangan dan radiasi diakibatkan oleh tekanan magma yang rendah pula, sebaliknya yang regaÂngan dan radiasi elektromagnetik tinggi di-karenakan tekanan magma tinggi. GeÂlombang dan radiasi EM berfrekuensi ter-tentu ini akan mudah dan sudah diterima oleh hewan-hewan sebagai ancaman seÂhingga hewan-hewan tersebut bertingkah laku tidak seperti biasanya. Contoh kearifan dan pengetahuan local yang lain adalah di Sulawesi Selatan pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah ba-ik yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur teks lisan yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri. Selain itu, kita ju-ga bisa melihat pasal lain yang berbunyi Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat.Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian ka-wasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam poÂhon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat borong karamaq yang sama sekali tidak boleh dirambah Basri Andang, 2006. Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan adaâ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Ka-jang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya or-ganisasi yang beranggotakan lima orang, dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis, yaitu sisÂtem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat ele-men kearifan lingkungan, yaitu sistem ni-lai, teknologi, dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masyaÂrakat lokal yang memiliki kearifan lingkuÂngan, seperti lontaraq kitab Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara me-motong pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya mengganti pohon yang ditebang deÂngan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber daÂya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq membersihkan laut yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain. Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sisÂtem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia me-rupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam peng-hijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an Robinson & Paeni, 2005. Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak maÂsyarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usa-ha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tam-bahan pendapatan ekonomi keluarga deÂngan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak. Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya alam yang me-nguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal diabaikan dan kalah oleh ke-pentingan pemodal perusahaan dan agen kapitalisme global. Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyaÂrakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan se-ringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik tersebut bisa kita lihat dari sejarah pengeksploitasian sumberdaya alam dan hutan terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan pihak perusahaan yang dalam hal ini sudah mendapatkan izin eks-ploitasi oleh Negara, dan juga antara maÂsyarakat dengan Negara sendiri seperti yang terjadi dalam eksploitasi mineral di Papua dimana masyarakat local berhadapan dengan Freeport, masyarakat Sumatera Utara dengan Indorayon, Masyarakat Sum-bawa dengan Newmont Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Apabila kita melihat kasus tersebut, bisa diketahui bahwa sumber konflik tersebut antara lain per-tama, karena menguatnya intervensi modal dalam system ekonomi nasional, sebab kemajuan Negara dilihat dari pendapatan perkapitanya, sehingga berujung pada pemihakan yang berlebihan pada pemodal. Kedua, dominannya Negara atau Peme-rintah dalam memposisikan diri sebagai yang paling berhak atas penentuan arah pembangunan, sehingga sentralisasi kepu-tusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang wajar saja, tidak memperdulikan keberadaan masyarakat lokal yang juga mempunyai andil dalam pemanfaatan sumÂberdaya tersebut yang melahirkan me-kanisme penaklukan terhadap mereka. Pengetahuan mereka dianggap tidak ilmiah dan tidak mempunyai metode dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, sehingga mereka menjadi termajinalkan. Ketiga, melemahnya jaminan dan perlindungan formal Negara terhadap hak-hak masyaÂrakat local dalam perundang-undangan masalah, seperti Freeport, telah lama mendapat perhatian para ahli yang tergolong strukturalis. Salah satu pendekatan strukturalis adalah pendekatan aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley melalui buku yang berjudul The Third World Political Ecology 2001. Pendekatan ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi masalah lingÂkungan bukanlah masalah teknis penge-lolaan Bryant dan Beily, ada beberapa asumsi yang mendasari pendeÂkatan aktor ini. Pertama, bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata. Kedua, bahwa dis-tribusi biaya dan manfaat yang tidak meÂrata tersebut mendorong terciptanya ketim-pangan sosial ekonomi. Ketiga, bahwa dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga meÂmiliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hu-bungan satu aktor dengan satu aktor yang penting adaÂlah negara state. Negara memiliki dua fungsi sekaligus, baik sebagai aktor peng-guna maupun pelindung sumber daya alam, yang karena itu negara juga sering me-ngalami konflik kepentingan. Namun, seÂcara teoretis, banyak kritik terhadap ek-sistensi negara ini, seperti yang disam-paikan Bryant and Beiley 2001. Salah sa-tunya karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ini berusaha menge-jar pembangunan ekonomi, termasuk beruÂsaha menarik perusahaan multinasional un-tuk melakukan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan ling kedua adalah pengusaha, baik perusahaan multinasional maupun na-sional. Aktor ini yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan kapitalisme. Aktor lain-nya aktor rakyat jelata yang merupakan pihak yang terlemah dalam politicized environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir selalu mengalami proses mar-ginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan setali tiga uang. Sebab, menurut Marcuse melalui buku One Dimensional Man, do-minasi terhadap alam terkait dengan domi-nasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia dan alam dilihat sebagai komo-ditas dan nilai tukar semata sehingga dehu-manisasi menjadi tak terhindarkan dan be-gitu pula eksploitasi terhadap ini terjadi juga karena aktor-aktor lain, seperti negara, pengusaha, atauÂpun perusahaan multinasional, memiliki kekuatan politik yang lebih besar dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dibanding rakyat. Bahkan, dalam kasus Freeport ini perusahaan multinaÂsional memiliki kekuatan yang lebih besar daripada negara. Inilah yang kemudian membuat geram lembaga swadaya masya-rakat sebagai aktor penting lainnya sehingÂga menuntut ditutupnya sementara pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih meman-dang situasi dan kondisi lokal agar pende-katan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan berva-riasi sesuai dengan situasi setempat. Yangperlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan dasarnya, budaya asli Indonesia terbukti memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup. Sementara itu, Agama-agama yang dipeluk oleh masyaÂrakat Indonesia, mulai dari Islam, Hindu, Kristen, Budha dan Konghuchu, juga terÂbukti mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Bahkan menurutnya, sekarang ini beberapa organisasi keagamaan di Indonesia telah membentuk institusi yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian apa yang dimak-sud dengan pengetahuan ilmiah yang oleh lowe dinamakan sebagai reason bukan satu-satunya yang bisa menjelaskan suatu permasalahan secara ilmiah, tetapi ada juga yang unreason dalam hal ini pengetahuan local yang tidak bisa diabaikan degradasi lingkungan adalah adanya pengeksploitasian sumberÂdaya alam oleh manusia, baik oleh peme-rintah, perusahaan maupun masyarakat yang mempunyai kepentingan dan akses tersendiri. Dengan demikian terjadi kon-testasi dan konflik diantara mereka. Akibat dari kontestasi tersebut, menimbulkan ketidakmerataan pendapatan ekonomi an-tara masyarakat local dengan perusahaandan pemerintah. Ironisnya hasil dari sum-berdaya tersebut sebagian besar masuk ke Negara Negara maju. Negara maju tinggal membayar, dan Negara kita menghabisi sumberdayanya. Hal tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke, sebab keberhasilan pembangunan dinilai dari pendapatan perkapita. Dampak dari eks-ploitasi tersebut mengakibatkan bencana alam seperti banjir, rusaknya hayati ke-lautan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam pengeksploitasian sumberdaya alam, tidak bisa mengabaikan kearifan local, sebab ke-arifan local berfungsi sebagai penyeimbang dan penyelaras lingkungan. Demikian juga halnya dengan pengetahuan local yang selama ini dianggap tidak ilmiah, tidak mempunyai metode, tetapi dalam penera-pannya bisa terbukti keberadaannya dalam meminimalisir bencana sebagai akibat dari degradasi dan fenomena PustakaAgrawal, A, âIndegeneous and Scientific Knowledge Some Critical Knowledge and Development Monitorâ, 3 3 3-6. 1995. Amalamien, âPenelitian Ilmiah Berbasis Pengetahuan Lokalâ, 2008. Berbagai SumberBryant, Raymond L, Sinead Bailey, âThird World Political Ecologyâ, Routledge, New York, Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkunganâ, LP3ES, Jakarta, J. Daeng, âManusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologisâ ,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Poerwanto, âKebudayaan dan lingÂkungan dalam Perspektif Antro-pologiâ, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Marcuse, âOne Dimensional Man Studies in Ideology of Advanced Industrial Societyâ, Routledge, New York, Iskandar, âMitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokalâ, Kompas, 6 Oktober R, Brown, âTantangan Masalah Lingkungan Hidup Bagaimana Membangun Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan LingÂkungan Hidup yang Sehatâ, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992. Lowe, Celia, âWild Profusion Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelagoâ, Princeton University Press. Sub-topik The Reason for Reason hal 19-23, A, âLocal Knowledge in the Environment-Development Discourse From Dicotomies to Situated Knowledgeâ, Critique of Anthropology 19 3 267-288, M, Chapter 16. Political Ecology, in Eric Sheppard and Trevor J. Barnes [eds.], A Companion to Economic Geography. Oxford Blackwell Publisher Ltd. sub-topik tentang knowledge, power, practice halaman 263-265, Bagikan Related Posts Page load link Go to Top
Jakarta(ANTARA News Sumsel) - Peneliti dari Center for Southeast Asian Studies Kyoto University Jepang, Prof Kosuke Mizuno mengatakan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan ANTARA News sumsel ekonomi
Kualitas lingkungan hidup saat ini sebagian besar mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tangguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai asas dipergunakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu asas tersebut adalah budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan manusia bermasyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Geografi manusia human geography menekankan studi pada aspek antroposphere. Studi geografi tidak terlepas dari kenyataan kehidupan manusia di permukaan bumi sebagai hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala geografi di permukaan bumi. Geografi manusia sangat berperan dalam melestarikan lingkungan hidup melalui aktifitas manusia dalam kebudayaannya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free e-mail geomedia Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian Geomedia Vol. 17 No. 1 Tahun 2019 1 â 9 Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia Rasti Fajar Peni Riantika a, 1*, Hastuti b, 2 a Program Studi Pendidikan Geografi Program Magister, Universitas Negeri Yogyakarta b Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta 1 *; 2hastuti *korespondensi penulis SejarahartikelDiterima Revisi Dipublikasikan Kualitas lingkungan hidup saat ini sebagian besar mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tangguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai asas dipergunakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu asas tersebut adalah budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan manusia bermasyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Geografi manusia human geography menekankan studi pada aspek antroposphere. Studi geografi tidak terlepas dari kenyataan kehidupan manusia di permukaan bumi sebagai hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala geografi di permukaan bumi. Geografi manusia sangat berperan dalam melestarikan lingkungan hidup melalui aktifitas manusia dalam kebudayaannya. Kata kunci Lingkungan Budaya Kearifan Lokal Geografi Manusia Keywords Environment Culture Local Wisdom Human Geography Today's environmental quality is largely threatening the survival of humans and other living creatures, so that protection and management of the environment is strong and consistent by all stakeholders. Various principles are used in environmental protection and management. One of these principles is culture and local wisdom. Local wisdom is the noble values that apply in the human life system to protect and manage the environment sustainably. Environmental protection and management activities must pay attention to the noble values that apply in the order of life of the community. Human geography emphasizes the study of aspects of the anthroposphere. Geography studies can not be separated from the reality of human life on the surface of the earth as a result of interaction between humans and the symptoms of geography on the surface of the earth. Human geography plays an important role in preserving the environment through human activities in its culture. © 2019 Rasti Fajar Peni R dan Hastuti. All Right Reserved Pendahuluan Manusia merupakan pelaku utama dalam keterkaitannya dengan lingkungannya. Karenanya, human geography sebagai suatu cabang ilmu yang berfokus pada keberadaan manusia di muka bumi, dianggap perlu menyumbangkan peranannya dalam penyelesaian pelestarian lingkungan. Artikel ini Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 2 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian akan membahas secara lebih lanjut mengenai keterkaitan manusia dan pelestarian lingkungan, bagaimana kedudukan human geography dalam menyelesaikan permasalan pelestarian lingkungan. Manusia merupakan faktor utama penyebab banyaknya kerusakan lingkungan. Tidak disadari, kegiatan hidup manusia sehari-hari akan merusak lingkungan yang disebabkan oleh tekanan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan Maridi, 2012. Interaksi antara manusia dan lingkungannya tidak selalu berdampak positif bagi lingkungan. Interaksi tersebut menurut Suparmini, dkk. 2013 dapat menimbulkan dampak negatif yang dapat menimbulkan bencana, malapetaka, dan kerugian-kerugian lainnya. Pada kondisi yang demikian inilah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dapat meminimalisir dampak negatif yang ada. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah upaya untuk mewujudkan dan meningkatkan peri kehidupan dan kualitas hidup makhluk hidup secara alami dan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan hidup bagi individu atau sekelompok masyarakat secara nasional berpegang pada peraturan yang telah disepakati bersama. Peraturan tersebut dikemas dengan berbagai cara, melalui undangundang yang harus difahami dan ditaati bersama. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang lingkungan dan pembangunan, diantaranya 1 Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan tahun 1982; 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan; serta 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah di lapangan didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif yang bernuansa melindungi dan melestarikan lingkungan hidup. Kebiasaan-kebiasaan positif itu dapat dilakukan secara individual atau kelompok masyarakat di daerah tertentu yang bersifat lokal. Kebiasaan-kebiasaan tersebut selanjutnya dikenal sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum dimana seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan beberapa hal diantaranya 1 keragaman karakter dan fungsi ekologis; 2 sebaran penduduk; 3 sebaran potensi sumber daya alam; 4 kearifan lokal; 5 aspirasi masyarakat; dan 6 perubahan iklim. Kearifan lokal merupakan pengalaman, gagasan, perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh manusia yang mempunyai nilai untuk tujuan tertentu Mukti, 2010. Geografi Manusia Human Geography Geografi manusia adalah cabang geografi yang bidang studinya yaitu aspek keruangan gejala di permukaan bumi, yang mengambil manusia sebagai objek pokok. Gejala manusia sebagai objek studi pokok, termasuk aspek kependudukan, aspek aktivitas yang meliputi aktivitas ekonomi, aktivitas politik, aktivitas sosial, dan aktivitas budayanya. Geografi manusia terbagi lagi ke dalam cabang-cabang Geografi Budaya, Geografi Penduduk, Geografi ekonomi, Geografi Industri, Geografi Medis, Geografi Perkotaan, Geografi Pariwisata, Geografi Sejarah, geografi transportasi, Geografi politik, Geografi permukiman dan Geografi Sosial DâBlij dan Murphy, 1998. Geografi manusia mengkaji mengenai interaksi antara manusia dengan tempat dan interakasi keruangan. Fellmann, Getis, dan Getis 2008, menyebut aspek ini sebagai aspek interaksi keruangan. Sosiologi mengkaji mengenai interaksi sosial, sementara geografi manusia mengkaji mengenai interaksi keruangan. Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 3 Di dalam kajian ini, geografi manusia berusaha unuk mengkaji mengenai interaksi manusia dengan lingkungannya, dan interaksi ruang satu dengan ruang yang lainnya. Merujuk pada pandangan Fouberg, Murphy dan de Blij 20098, geografi manusia berusaha untuk mengkaji mengenai kepekaan dan rasa memiliki manusia terhadap lokasi, region dan dunianya. Aspek ini, biasa disebut dengan sense of place. Keragaman rasa memiliki tempat sense of place, bukan sekedar terhadap rumah, desa, negara, tetapi juga terhadap planet bumi ini. Target pelestarian bumi, dan penyelamatan lingkungan, pada dasarnya bersandar pada besarannya sense of place. Kerusakan lingkungan, adalah contoh nyata rendahnya sense of place dari manusia Kearifan Lokal dan Budaya Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh HG. Quaritch Wales âthe sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early lifeâ. Gagasan pokok dalam definisi di atas adalah 1 karakter budaya, 2 kelompok yang memiliki budaya tersebut, 3 pengalaman hidup yang muncul dari karakter budaya Banda 2014 1. Menurut Budiwiyanto 2005 26 kearifan lokal sebagai âlocal geniusâ yang berarti sejumlah ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Setyawati dkk 2015 101 dalam penelitiannya menggunakan istilah kecerdasan tradisional local genius sebagai alternatif istilah dari kearifan lokal local wisdom. Kedua istilah ini memiliki kesetaraan makna dengan istilah pengetahuan lokal local knowledge dan pengetahuan asli daerah indigeneous knowledge. Kearifan lokal terbentuk dari interaksi secara terus menerus antara manusia dengan lingkungannya dalam waktu yang lama. Elsworth huntington dalam bukunya yang berjudul Principle of human geography mengemukakan bahwa respon manusia terhadap lingkungan itu, dapat dikelompokkan pada empat kelompok besar, yaitu terkait dengan kebutuhan material material needs, pekerjaan, efisiensi kehidupan, dan kebutuhan tingkat tingkat tinggi higher needs. Yang pertama, lingkungan memberikan pengaruh terhadap ragam makanan, pakaian, alat dan teknologi, sarana transportasi dan perumahan. Seseorang yang ada di kawasan pantai, memiliki kebutuhan material yang berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah gurun atau pegunungan iklim sangat menentukan kebudayaan manusia. Kedua, lingkungan mempengaruhi ragam pekerjaan manusia. Dari aspek ini, muncul keragamaan pekerjaan, seperti berburu, bertani, pertambangan, dan pengolahan barang dan adanya keragaman mengenai kegiatan yang mendukung pada usaha peningkatan kualitas hidup manusia, seperti layanan kesehatan, pemanfaatan energy dan keragaman pola rekreasi. Terakhir, yaitu adanya keragaman kebutuhan tingkat tinggi manusia higher needs. Aspek respon manusia yang dianggap masuk pada kategori ini, yaitu pelayanan pemerintahan, pendidikan, sains, keagamaan dan seni. Menurut Koentjaraningrat 2003 kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Kearifan Lokal Secara Geografis Human geografi mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan permasalan pelestarian lingkungan. Upaya menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat memiliki norma-norma, nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku turun temurun yang merupakan kearifan lokal sesuai dengan letak geografis daerah setempat. Beberapa contoh praktek-praktek budaya dan kearifan lokal di Indonesia yang menurut Suhartini 2009 antara lain sebagai berikut a. Pranoto mongso Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 4 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian Salah satu kearifan lokal yang terdapat di Jawa yaitu Pranoto Mongso. Pranoto Mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan digunakan sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Menurut Hariyanto, 2013 Pranoto mongso adalah salah satu cara yang digunakan suku jawa untuk mengetahui hukum atau tanda-tanda dari fenomena geografis dan berguna untuk menentukan masa tanam, masa panen, Pengendalian Hama Terpadu PHT, pencegahan biaya proses pertanian yang tinggi, dan pengurangan resiko gagal panen. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat terjaga keseimbangannya. Pranoto Mongso dipelopori oleh raja Surakarta Pakubuwono VII dan mulai dikembangkan sejak 22 Juni 1856. Indikator tiap mongso pada Pranotomongso menurut Sumintarsih 1993 42-43 terdapat pada Tabel. 1. Tabel 1. Tabel Pananggalan Jawa Pranotomongso Setya murca ing embanan/ udan rasa mulyo Daun-daun gugur. Udara malam hari dingin, dan siang hari panas Bantala rengka / gong pecah sajroning simpenan Udara panas, angin lembut di luar dingin, panas di dalam. Pohon berdaun lagi. 25 Agustus â 17 September Angin berdebu, udara panas, panen palawija, gadung tumbuh, pohon-pohon berbunga. 18 September â 12 Oktober Waspa Kumembeng Jroning Kalbu Kemarau berakhir, pohon randu berbuah, binatang kaki empat kawin, pohon jambu dan jeruk berbunga. Pancuran Emas Sumawur Ing Jagat Hujan pertama turun. Gadung dan kunir berdaun banyak. Pohon nangka, during, dan mangga berbunga. Mengerjakan sawah, rambutan dan jeruk berbunga, alam mulai hujan. Kilat bersambungan, hujan jarang, banyak binatang tonggeret, padi mulai berbuah. 3 Februari â 28/29 Februari Kilat bersambungan, hujan jarang, banyak binatang tonggeret, padi mulai berbuah. Garengpung berbunyi, berbuat alpukat, jeruk. Pepaya berbunga. Burung-burung bertelur, padi tua. Menuai padi, burung mengeram, tanaman berubi berbuah. Mulai kemarau, Jeruk berbuah Sumber Sumintarsih 1993 42-43 Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 5 Pranata Mangsa yang dalam setahun terdiri dari 12 mangsa kemudian dibagi lagi menjadi 4 mangsa utama mangsa terang 82 hari, mangsa semplah 99 hari, mangsa udan 86 hari dan mangsa pengarep-arep 98 hari. Simetris dengan pembagian 4 mangsa ini, ada juga pembagian mangsa utama yang lain, yaitu mangsa Katigo88 hari, mangsa Labuh 95 hari, mangsa rendheng 94 hari dan mangsa mareng 88 hari. Sindhunata, 20113. Tanda-tanda untuk mengetahui awal dan berakhirnya tiap mangsa melalui panjang bayangan manusia di siang hari yang merupakan akibat dari posisi Matahari yang setiap harinya selalu berpindah- pindah. Seperti yang tertera pada Tabel 2 menurut Daldjoeni di bawah ini. Tabel 2. Tabel Pembagian Mangsa dalam Pranata Mangsa dan Panjang Bayangan Tiap Mangsa Panjang Bayangan dalam pecak dan arah Sumber. Daldjoeni 1983 b. Nyabuk Gunung Nyabuk Gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor. c. Pohon keramat Pada hampir semua daerah di Jawa, dan beberapa wilayah lain di Indonesia, terdapat budaya menganggap suatu tempat dengan pohon besar misal beringin adalah tempat yang keramat. Kearifan lokal ini memberikan dampak positif bagi lingkungan dimana jika suatu tempat dianggap keramat misal terdapat pohon beringin, maka hal ini merupakan salah satu bentuk konservasi karena dengan memelihara pohon tersebut menjaga sumber air, dimana beringin memiliki akar yang sangat banyak dan biasanya di dekat pohon tersebut ada sumber satu contoh nyata kearifan lokal ini nampak pada masyarakat di Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul. Hasil penelitian Alanindra 2012 menunjukkan bahwa masyarakat di desa Beji, memiliki hutan adat Wonosadi dimana di dalamnya terdapat mataair Wonosadi. Berbagai potensi baik flora, fauna, maupun sumberdaya air di mata air ini sangat terjaga dengan baik sebagai tempat resapan air hujan. Hal ini menyebabkan di hutan Wonosadi terdapat Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 6 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian tiga mata air yang mengalir sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar desa Beji. Terjanyanya kelestarian hutan adat ini tidak lepas dari kearifan lokal yang sampai saat ini dipertahankan oleh masyarakat yang salah satunya diwujudkan dalam pembentukan kelompok âJagawanaâ. Jagawana merupakan kelompok masyarakat yang bertugas untuk menjaga dan memelihara vegetasi di daerah tangkapan air mata air Wonosadi. Masyarakat tidak pernah mengambil kayu dan merusak aneka tumbuhan langka. Pohon-pohon yang mati tersambar petir tidak ditebang melainkan dibiarkan menjadi humus. d. Kearifan lokal komunitas adat Karampuang di Sulawesi Komunitas adat Karampuang memiliki beberapa cara tersendiri yang merupakan bagian dari sistem budaya dalam mengelola hutan dan sumberdaya alam. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan dan norma yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Dewan adat Karampuang sebagai simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Karampuang. Kearifan lokal tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan dan sanksi. Salah satu contoh kearifan lokal dalam bentuk larangan yaitu âAjaâ muwababa huna nareko depa naâoto adake, ajaâ to muwababa huna nareko matarataâni manukeâ yang artinya âjangan menyadap enau di pagi hari dan jangan menyadap enau di petang hariâ. Hal ini berhubungan dengan keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung karena menyadap enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketenteraman beberapa jenis satwa yang ada pada pohon enau, demikian pula pada sore hari akan mengganggu satwa yang akan kembali ke kandangnya. Beberapa jenis kearifan lokal masyarakat di Indonesia dalam mengelola hutan dan lingkungan dikemukakan oleh Sartini 2004 antara lain a. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako alam adalah aku. Gunung Erstberg & Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara hati-hati. b. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kamali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak. c. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tanaâ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat. d. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat mengembangkan kearifan lokal dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatnya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. e. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat yang mengenal upacara tradisional, mitos, tabu sehingga pemanfaatan hutan dilakukan dengan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. f. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awigawigKearifan lokal yang lain dapat ditemukan pada berbagai ritual adat di Bali yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu. Beberapa Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 7 praktek kearifan lokal di Bali menurut Utama dan Kohdrata 2011 antara lain a. Adanya organisasi adat yang mengelola lanskap alam seperti organisasi subak dalam mengelola sistem irigasi pertanian; b. budaya menandai pohon besar dengan lilitan kain belang hitam-putih yang menandai bahwa pohon tersebut tidak dapat ditebang sembarangan; c. ritual tumpek wariga/tumpek uduh yang digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan rasa syukur atas pemanfaatan keanekaragaman hayati yang telah diperoleh; dan lain-lain. Kearifan lokal juga dijumpai dalam upaya mitigasi bencana. Setyawati dkk 2015 103-106 serta Septiana dkk 2019 7-12 mencontohkan kearifan lokal masyarakat di wilayah lereng selatan hingga barat Gunungapi Merapi dalam menghadapi bencana. Masyarakat di wilayah tersebut memiliki kemampuan dalam membaca tanda semiotika yang berupa tanda-tanda dari perilaku hewan semiotika faunal, kondisi vegetasi semiotika vegetal, kondisi alam seperti suara gemuruh dan kilat di atas gunung merapi semiotika fisikal, serta ajaran, nasihat, bahkan mitos semiotika kultural. Kearifan lokal ini diajarkan secara turun temurun, namun demikian pada saat sekarang tidak dipahami seluruh anggota masyarakat terutama generasi muda. Pada masyarakat Jawa pra modern, kearifan lokal telah berkembang dalam pemilihan lokasi permukiman. Berdasarkan kearifan lokal ini, permukiman cenderung dipilih pada lokasi yang dekat dengan sumberdaya air, memiliki kualitas sumberdaya lahan yang baik, serta relief yang baik Ashari, 2014 176, Ashari, 2015 367 Kontribusi geografi manusia terhadap kearifan lokal Geografi merupakan ilmu yang lebih terfokus pada interaksi antara manusia dan lingkungan di mana ia hidup Hobbs, 2009. Dari definisi yang telah dikemukakan, maka dapat diketahui bahwa geografi lebih menekankan pada interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia hidup di permukaan bumi di mana tiap area atau wilayah yang ada di permukaan bumi ini tentu memiliki karakteristik yang membedakan antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Human Geografi adalah sub ilmu dari Geografi yang Masyarakat berperan dalam melestarikan kondisi lingkungan. Peran manusia secara berkelompok masyarakat sesuai dengan lingkup secara geografisnya merupakan kegiatan yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Kehidupan masyarakat memiliki keharmonisan antara memenuhi kebutuhan dengan kondisi lingkungan alam. Mematuhi aturan alam dengan sebuah kepercayaan dan tradisi menjadikan hal tersebut sebagai kebijakasanaan/kearifan. Menurut Witt, 2017 Perspektif geografi manusia dapat membantu memperkenalkan kearifan lokal secara geografis karena dapat berkontribusi pada keberlangsungan alam secara canggih dan alamiah. Beberapa ahli geografi berpendapat bahwa kearifan lokal geografis lebih dari sekedar hubungan emosional Wright, 2011. Menurut Suja 2010, kearifan lokal dibedakan menjadi 2 dua yaitu kearifan sosial dan kearifan ekologi. Kearifan sosial menekankan pada pembentukan makhluk sosial menjadi lebih arif dan bijaksana. Kearifan ekologi merupakan pedoman manusia agar arif dalam berinteraksi dengan lingkungan alam. Kearifan lokal ekologi memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam. Kearifan lokal sangat erat kaitannya dengan masyarakat penduduk adat atau masyarakat penduduk asli, alam dan lingkungan setempat Kristiyanto 2017. Kearifan lokal dalam bentuk kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai hal yang sakral telah menjadikan lingkungan tersebut tetap terjaga keasliannya. Sumber air yang terjaga dengan pemanfaatan secukupnya. Pepohonan yang tetap rindang memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan debit air untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan aspek kehidupan. Jika kondisi ini terus berkelanjutan, maka daerah tersebut bisa dimanfaatkan hingga masa mendatang. Kearifan lokal bukan hanya pada kepercayaan terhadap suatu hal, melainkan makna dari kearifan tersebut. Sikap dan perilaku masyarakat layak dicontoh dan diterapkan untuk Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 8 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di tempat lain demi menjaga kelestarian lingkungan untuk masa depan. Kontribusi geografi manusia terhadap kearifan lokal dapat diketahui dalam implementasi kearifan lokal nusantara, seperti Alam Takambang Jadi Guru Minangkabau, Banjar Sari Jakarta, Nyabuk Gunung Sunda, Bersih Desa Jawa, Hamemayu Hayuning Bawono Yogyakarta, Karah Surabaya, Tri Hita Karana Bali, Awig Awig Bali dan NTT, Kassi Kassi Makasar, dan Sasi Maluku, Wijana 2016. Kearifan lokal di atas dapat bertahan sampai masa kini karena eksistensinya peran masyarakat sesuai dengan lokasi masing-masing sehingga mampu untuk menyeimbangkan ekosistem dengan peribahan kondisi alam. Dalam hal tersebut geografi manusia mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mempertahankan eksistensi kearifan lokal sesuai dengan perkembangan sosial maupun perubahan alam. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa geografi manusia sebagai suatu subdisiplin besar dalam geografi saat ini mulai mengembangkan analisisnya berkaitan dengan lingkungan, khususnya mengenai kedudukan manusia dalam melestarikan lingkungan. Kajian mengenai pelestarian lingkungan dianggap selalu berkaitan dengan manusia, sebab manusia berkedudukan sebagai faktor penyebab, korban, sekaligus pihak pelaksana dalam upaya pelestarian lingkungan. Secara geografis lokasi mempengaruhi aktifitas dan kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam melestarikan lingkungan, hal tersebut yang menyebabkan kearifan lokal disetiap tempat berbeda-beda. Geografi manusia memiliki kontribusi yang cukup berperan dalam eksistensi Kearifan lokal. Hal ini dapat disinergikan dalam rangka mencapai tujuan visioner terhadap manusia dan lingkungan. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian artikel ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Geografi UNY yang telah memberikan masukan dan dukungan. Ucapan terimakasih secara khusus disampaikan kepada Ibu Dr. Hastuti selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan dan saran dalam penyusunan artikel ini. Referensi Alanindra, S. 2012. Analisis Vegetasi Pohon di Daerah Tangkapan Air Mata Air Cokro dan Umbul Nila Kabupaten Klaten, Serta Mudal dan Wonosari Kabupaten Gunungkidul.. Yogyakarta Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Ashari, A. 2014. Distribusi Spasial Mataair Kaitannya dengan Keberadaan Situs Arkeologi di Kaki Lereng Timur Gunungapi Sindoro antara parakan dan Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Prosiding Mega Seminar Nasional Geografi Untukmu Negeri. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Ashari, A. 2015. Kearifan Masyarakat Jawa Pra Modern di Lembah Progo dalam Pengenalan Bentanglahan untuk Lokasi Permukiman Tinjauan Studi Geoarkeologi. dalam Nasiwan. 2015. Dilema Membangun Manusia Indonesia Memilih Antara Tuntutan Global atau Kearifan Lokal. Yogyakarta FISTrans Institute. Banda, Maria Matildis, 2014. Upaya Kearifan Lokal dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Kebudayaan. Bali Universitas 2005. Tinjauan Tentang Perkembangan Pengaruh Local Genius dalam Seni Bangunan Sakral Keagamaan di Indonesia. 25-35 Daldjoeni, N. 1983. Pokok-pokok Klimatologi. Bandung Alumni DâBlij, & Alexander B. Murphy. 1998. Human GeographyCultur, Society, and Space, New York Jhon Wiley & Sons, Inc. Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 9 Fouberg, Murphy, dan de Blij, 2009. Human Geography People, Place and Culture. John Wiley & Sons, Inc. Fellman, Bjelland, Getis, A. & Getis, J., 2008. Human Geography Landscapes of Human Activities. Twelfth Edition, McGraw Hill, New York. Hariyanto, W. 2013. Identifikasi beberapa kearifan lokal dalam menunjang keberhasilan usaha tani padi di Jawa Tengah. Seminar Nasional. Madura. Hobbs, J. J. 2009. World Regional Geography. USA Brooks/ColeKoentjaraningrat. 2003. Pengantar antropologi I. Jakarta PT Rineka Cipta. Kristiyanto, E. N, 2017. Kedudukan kearifan Lokal dan peranan masyarakat dalam penataan ruang daerah. Jurnal RechtsVinding. Vol 6 2 2012. Penanggulangan Sedimentasi Waduk Wonogiri Melalui Konservasi Sub DAS Keduang dengan Pendekatan Vegetatif Berbasis Masyarakat. Tesis. Surakarta Program Pascasarjana Universitas Sebelas 2010. Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Disertasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan. Malang Unibraw. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 72 111-120. Septiana, Wardoyo, Praptiwi, Ashari, Ashari, A., Susanti, Jainudin., Latifah, F., Nugrahagung, 2019. Disaster Education Through Local Knowledge in Some Area of Merapi Volcano. IOP Conference Series Earth and Environmental Science 271 2019 012011. Setiawati, S., Pramono, H., dan Ashari, A. 2015. Kecerdasan Tradisional dalam Mitigasi Bencana Erupsi pada Masyarakat Lereng Baratdaya Gunungapi Merapi. Socia 12 2 100-110 Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Suja, W. 2010. Kearifan Lokal Sains Asli Bali, Surabaya Paramita. Sumintarsih. 1993. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suparmini. 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 18. No. 1, April 2013. 2011. Seri Lawasan Pranata Mangsa, Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Utama, N, Kohdrata. 2011. Modul Pembelajaran Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal. Denpasar Tropical Plant Curriculum Project USAID-TEXAS A&M University dengan Universitas Udayana Wijana, N. 2016. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta Plantaxia. Witt, shareon. 2017. Fostering geographical wisdom in fieldwork spaces â discovery fieldwork, paying close attention through sensory experience and slow pedagogy. geographical Association in Reflections on Primary Geography. 1-12. Wright, P. 2011. Challenging Assumptions What is a 'human-centred geography'? Stretching the geographical imagination in pursuit of holism. Geography, 96 3, 156-160. Kurangnya kemampuan siswa dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengaitkan kearifan lokal dalam pembelajaran serta kurangnya penggunaan media oleh guru berpengrauh terhadap proses dan hasil belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan desain pengembangan, profil dan mengetahui efektivitas video pembelajaran. Jenis penelitian ini adalah penelitian Research and Development R&D dengan model ADDIE. Subjek validasi adalah lima ahli media, lima ahli desain, dan empat ahli materi serta 26 siswa. Subjek uji efektivitas berjumlah 30 siswa dan subjek validasi soal 30 siswa. Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan metode observasi, dokumentasi, angket dan tes. Analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif, deskritif kualitatif dan statistik inferensial uji t serta uji effect size. Hasil penelitian adalah 1 deskprisi desain video pembelajaran. 2 profil video pembelajaran 3 evektifitas video pembelajaran melalui uji effect size, hasilnya 2,614 dengan kategori âstrong effectâ. Dengan demikikan, video pembelajaran geografi SMA berbasis kearfian lokal dapat diterapkan sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan High Order Thinking Anang Widhi NirwansyahSutomoDhi BramastaThis study examines the indigenous knowledge and local mitigation of the Banyumas people in Gununglurah village, Central Java, against landslides. Here, the local community practices local mitigation strategies to overcome its impacts based on local beliefs and traditional practical solutions. The method of the study mainly employs field observations and semi-structured interviews with sixteen informants, including twelve villagers, four local leaders at RT/RW level, and two government officers. The research finds how indigenous knowledge is used across core belief systems and fundamental understanding of marking, imitating, and adding. In addition, this study also reveals that farmers have practiced traditional terracing methods nyabuk gunung to plant crops on slope hills. Other than that, Banyumas people are still practicing the usage of the local seasonal calendar for cropping pranata mangsa, as well as community-level vegetative strategies and practices. Finally, the study also addresses the threat of global technology and modernization to local knowledge preservation for the future volcano in Central Java is one of the most active volcanoes in the world. However, the area of Mount Merapi is still occupied by many inhabitants. Population growth in disaster prone areas is also quite high, even after a major eruption disaster in 2010. To reduce disaster risk, disaster education is necessary, including by utilizing local knowledge about disasters. This paper aims to 1 identify disaster education through local knowledge in the western and southern flank of Merapi Volcano, 2 reveals the influence of physical environmental conditions on disaster education that is formed. The research is done by geography approach that is environmental approach and emphasize on the theme of geography especially location, place, and human- environment interaction. The results show 1 There are several forms of disaster education through local knowledge among others in the form of advice, philosophy of life, myths, art, and culture. The educational process is done in various activities of community life, both during pre disaster, disaster, and post disaster. village elders and community leaders are the most influential parties in the disaster education process. However, at present the role of local knowledge in disaster education is relatively poor. 2 There is an influence of the physical environmental conditions on the form of disaster education, especially geomorphological conditions. Geomorphological conditions affect the types of volcanic hazards, thus determining the characteristics of disaster education undertaken. This paper presents alternative methods in disaster education, in an effort to support disaster management that has been done by the SuparminiSriadi Setyawati Dyah RespatiPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji tentang upaya pelestarian lingkungan masyarakat Baduy yang tinggal dan berada di Desa Kanekes, Kecama- tan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Metode deskriptif kualitatif dilakukan sebagai pendekatan penelitian. Kearifan lokal dikaji sebagai basis dalam penelitian ini, khususnya dalam upaya pelestarian lingkungan pada masyarakat Baduy. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan beberapa narasumber. Analisis data secara kualitatif melalui, reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Kehidupan suku Baduy masih sangat tergantung pada alam dan senantiasa menjaga keseimbangan alam. Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam mengelola sumberdaya alam antara lain terlihat dari aturan pembagian wilayah menjadi tiga zona, yaitu zona reuma permukiman, zona heuma tegalan dan tanah garapan, dan zona leuweung kolot hutan tua. Hubungan antar aspek kehidupan masyarakat Baduy di Kanekes memiliki integrasi yang sinergis dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Pandangan masyarakat Baduy relatif sama terhadap hubungan antara kehidupan sosial budaya, ekonomi, serta pengelolaan lingkungan. Adat istiadat sebagai bagian dari kearifan lokal masih dipegang dengan sangat kukuh oleh masyarakat Baduy, dan adat istiadat tersebut telah menjadi benteng diri bagi masyarakat Baduy dalam menghadapi modernisasi, termasuk dalam hal melestarikan lingkungannya. Bentuk perilaku pelestarian lingkungan dan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat Baduy, antara lain meliputi 1 sistem pertanian, 2 sistem pengetahuan, 3 sistem teknologi, dan 4 praktik konservasi. Kesemuanya itu dilakukan dengan mendasar- kan pada ketentuan adat dan pikukuh yang telah tertanam dalam jiwa dan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh seluruh anggota masyarakat BaduyEko Noer Kristiyantop>Sebelum pengetahuan modern terkait penataan ruang berkembang pesat, sebenarnya masyarakat asli Indonesia pun telah mengenal konsep penataan ruang yang dalam berbagai diskusi dan penelitian ternyata terbukti efektif dan selaras dengan ilmu pengetahuan modern. Cara pandang serta konsep itulah yang dapat kita artikan sebagai bagian dari kearifan lokal. Tulisan yang disusun dengan tinjauan normatif ini mencoba menjelaskan bagaimana kearifan lokal dapat berperan dalam proses penataan ruang di Indonesia, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah kearifan lokal sudah diakomodir melalui regulasi daerah, di mana partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam proses ini, mengakomodir kearifan lokal berarti mengakui juga eksistensi masyarakat hukum adat seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi.
Viewflipping ebook version of PENGARUH KONDISI GEOGRAFIS DENGAN KEADAAN SOSIAL BUDAYA NEGARA ASEAN published by achoerunnisa5 on 2022-02-22. Interested in flipbooks about PENGARUH KONDISI GEOGRAFIS DENGAN KEADAAN SOSIAL BUDAYA NEGARA ASEAN? Check more flip ebooks related to PENGARUH KONDISI GEOGRAFIS DENGAN KEADAAN SOSIAL BUDAYA NEGARA ASEAN of achoerunnisa5.
Artikel ini menerangkan tentang pentingnya kearifan lokal, juga memberikan informasi tentang 5 karakteristik kearifan lokal. â Indonesia menjadi negara dengan populasi terbanyak ke 4 di dunia. Ratusan juta masyarakatnya tersebar di ribuan pulau yang masuk ke dalam wilayah teritori Republik Indonesia. Persebaran masyarakat itu, kemudian membentuk kelompok-kelompok yang memiliki tradisi, bahasa, budaya, dan kepercayaan yang berbeda-beda. Meski begitu, ragam budaya yang tersebar di Indonesia, selalu memiliki nilai-nilai yang baik untuk menjaga kedaulatan bangsa. Nah, pada artikel ini, kita akan membahas tentang kearifan lokal. Suatu pengetahuan yang erat hubungannya dengan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Menurut seorang ahli bernama I Ketut Gobyah, kearifan lokal adalah suatu kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti yang luas. Bagi I Ketut, kearifan lokal adalah produk budaya masa lalu yang patut dijadikan pegangan hidup secara terus-menerus. Meskipun bernilai lokal, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Setiap suku bangsa memiliki kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai sosial budaya yang harus dilestarikan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, serta nasehat-nasehat leluhur untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia, bahkan alam tempat tinggalnya. Keberlangsungan kearifan lokal bisa tercermin di dalam nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tersebut. Misalnya melalui pepatah, nyanyian, petuah-petuah, tarian, atau bahkan semboyan. Nilai-nilai kearifan lokal yang tertanam di dalam kelompok masyarakat, akan menjadi bagian hidup yang tidak dapat terpisahkan. Kita bisa melihatnya melalui perilaku sehari-sehari mereka. Baca juga Pendekatan Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Komunitas Nah, kearifan lokal, juga bisa menggambarkan sebuah fenomena yang menjadi ciri khas suatu kelompok masyarakat. Misalnya seperti pepatah yang sering kita dengar dari masyarakat lokal Jawa Timur âRawe-rawe rantas, malang-malang putungâ atau masyarakat Jawa Tengah âAlon-alon asal klakonâ dan banyak lagi. Pada intinya, kearifan lokal adalah suatu hal atau tindakan yang dianggap baik oleh masyarakat. Jika tidak baik, maka secara perlahan, ia akan hilang. Namun, adat yang tidak baik, juga bisa terjadi jika adanya pemaksaan dari penguasa atau pemerintah setempat. Bila itu terjadi, maka hal itu akan tumbuh tidak secara alami, melainkan dipaksakan. Contoh kearifan lokal yang baik dan berlangsung terus menerus, seperti Hutan Adat Desa. Pada salah satu desa di kecamatan Kampar, yaitu Desa Rumbio, Provinsi Riau, masyarakatnya dibentuk untuk melestarikan hutan secara bersama-sama. Jika tidak, misalnya sampai ada yang menebang pohon di hutan tersebut, maka akan dikenakan denda sebesar beras 100 kg atau setara uang Rp Kita bisa menemui contoh kearifan lokal seperti itu di banyak daerah. Sebuah nilai-nilai baik yang mentradisi dan menjaga hal buruk datang ke dalam kelompok masyarakat tersebut. 5 Karakteristik Kearifan Lokal Untuk menjaga eksistensi budaya, tradisi, dan kekayaan alam yang dimiliki, baik masyarakat adat, maupun kelompok masyarakat lainnya, akan mempertahankannya dengan menunjukkan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki. Nah, kearifan lokal juga memiliki karakteristik yang akan membuat kearifan lokal tersebut dapat berfungsi di dalam masyarakat. 1. Kearifan lokal sebagai pemberi arah perkembangan budaya. Kearifan lokal sebagai pemberi arah perkembangan budaya berarti kearifan lokal menjadi salah satu alat untuk mengarahkan masyarakat setempat lokal agar tetap berperilaku sesuai dengan perkembangan budayanya, meskipun terjadi berbagai perubahan yang berkaitan dengan perkembangan kondisi sosial masyarakat. Dengan karakteristik ini, masyarakat cenderung menjaga nilai-nilai lokal yang mereka miliki dan menerapkan cara hidup yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. 2. Kearifan lokal sebagai alat kontrol sosial. Kearifan Lokal sebagai alat kontrol sosial berarti kearifan lokal menjadi alat yang mampu menjaga agar masyarakat memiliki tanggung jawab akan keberlangsungan kehidupan dan hubungan sosial masyarakat setempat agar tidak hilang, begitupun dengan kebudayaan maupun tradisi yang sudah ada sejak dahulu agar tidak tergerus oleh kebudayaan asing maupun zaman. 3. Kearifan lokal sebagai pertahanan budaya. Kearifan lokal sebagai pertahanan budaya, berarti kearifan lokal memiliki karakteristik yang mampu menjaga kebudayaan asli masyarakat dari perkembangan zaman maupun pengaruh budaya luar atau asing. Dengan adanya kearifan lokal, nilai-nilai, tradisi dan kebudayaan di masyarakat akan tetap terjaga dan lestari. Sehingga masyarakat dapat hidup sesuai dengan kearifan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. 4. Kearifan lokal sebagai alat akomodasi budaya luar. Kearifan lokal sebagai alat akomodasi budaya luar berarti kearifan lokal mampu memilih dan menyesuaikan kebudayaan mana yang cocok dengan kebudayaan asli masyarakat. Karakteristik ini menunjukkan bahwa kearifan lokal tidak selalu menunjukkan cara hidup masyarakat yang tradisional, tetapi juga adaptif dan dapat menerima berbagai perkembangan dan perubahan yang ada. 5. Kearifan lokal sebagai penyatu kebudayaan. Kearifan lokal sebagai penyatu budaya di sini berarti kearifan lokal mampu menyatukan budaya asli masyarakat setempat dengan budaya lain sehingga membentuk identitas kebudayaan nasional. Penyatuan budaya lokal dengan budaya lain tersebut dapat terjadi karena kearifan lokal masyarakat Indonesia itu sendiri yang mengedepankan rasa toleransi dan saling menghormati, hingga hasil dari proses penerimaan kebudayaan tersebut berwujud pada terbentuknya identitas kebudayaan nasional pada suatu bangsa. Pentingnya nilai-nilai kearifan lokal pada kehidupan masyarakat, ternyata tidak hanya terletak pada ranah kegiatan sosial, budaya, dan politik, melainkan juga pada ranah pendidikan. Paulo Freire, seorang tokoh pemikir pendidikan mengatakan bahwa, kearifan lokal akan mengajarkan peserta didik untuk selalu konkret pada apa yang mereka hadapi. Dalam bukunya yang berjudul Cultural Action for Freedomâ, Ia menyebut, dengan dihadapkannya peserta didik pada problem dan situasi yang dihadapi, mereka akan merasa lebih tertantang untuk kemudian menanggapinya secara kritis. Maka dari itu, Freire menegaskan bahwa sangat diperlukan adanya integrasi ilmu pengetahuan dengan kearifan lokal. Nah, gimana? Apakah kamu sudah jelas tentang apa itu kearifan lokal dan mempelajari detail karakteristik kearifan lokal? Sebenarnya masih banyak lagi hal menarik yang bisa kamu dapat tentang kearifan lokal. Kamu bisa melengkapi pengetahuan kamu hanya dengan belajar di aplikasi Ruangguru. Kamu bisa berlangganan ruangbelajarplus, kamu akan mendapat journey video belajar, live teaching, konsultasi minat bakatmu, dan juga berlatih dengan banyaknya latihan soal. Jadi, yuk berlangganan, dan buat belajarmu menjadi lebih menyenangkan. Referensi Friere, Paulo. 1977. Cultural Action for Freedom. Massachussets Penguin Books. Kymlicka, Will. 2002. Kewargaan Multikultural. Jakarta LP3ES. Mariane, Irene. 2014. Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat. Jakarta PT Raja Grapindo Persada.
qaQy. bwp3rx7jax.pages.dev/862bwp3rx7jax.pages.dev/380bwp3rx7jax.pages.dev/33bwp3rx7jax.pages.dev/429bwp3rx7jax.pages.dev/80bwp3rx7jax.pages.dev/488bwp3rx7jax.pages.dev/685bwp3rx7jax.pages.dev/626bwp3rx7jax.pages.dev/599bwp3rx7jax.pages.dev/126bwp3rx7jax.pages.dev/478bwp3rx7jax.pages.dev/536bwp3rx7jax.pages.dev/735bwp3rx7jax.pages.dev/196bwp3rx7jax.pages.dev/479
kemukakan hubungan antara kearifan lokal dan kondisi geografis