Mutiaraadalah benda keras yang diproduksi oleh moluska. Moluska sendiri adalah binatang tanpa tulang belakang yang biasanya memiliki cangkang untuk mempertahankan diri. Untuk Teman-Teman ketahui, mutiara dalam cangkang tiram terbuat dari kalsium karbonat, yaitu senyawa kimia yang juga merupakan bahan pembentuk batu tapi juga merupakan salah Kerang mutiara Pinctada maxima merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi andalan usaha budidaya di Indonesia. Hal ini didukung oleh perairan nusantara yang berpotensi dalam pengembangan usaha budidaya kerang mutiara. Teknik budidaya kerang mutiara pada mulanya dikuasai oleh tenaga asing Jepang khusus untuk hatchery dan operasi penyuntikan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi bidang kelautan, maka pada dekade tahun 1980an telah terjadi alih teknologi dari tenaga asing ke tenaga kerja Indonesia Hamzah, 2008a; Hamzah dan Setyono, 2010. Dewasa ini usaha budidaya kerang mutiara semakin meningkat, seiring dengan permintaan butiran mutiara baik pasar domestik maupun mancanegara. Namun para pengusaha terutama skala industri sering mengalami kendala dalam penyedian induk alam yang matang gonad. Penyebab utama kekurangan induk matang gonad adalah kompetisi antar nelayan penyelam yang menjual kulit cangkang untuk industri kerajinan perhiasan dan penyedian induk untuk perusahaan budidaya kerang mutiara. Budidaya kerang mutiara P. maxima sangat ditentukan oleh proses pembenihan, yang dimana proses pembenihan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kerang yang akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi faktor penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Salah satu parameter kualitas air adalah suhu yang mempengaruhi laju metabolisme organisme akuatik khususnya kerang mutiara P. maxima. Keadaan ini diperkuat hasil penelitian Hamzah 2008b yang mengemukakan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara rerata sebesar 68,57% bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari level 29°C menjadi 31°C dengan gradient 2°C di perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Kemudian Hamzah 2009 menyimpulkan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara ukuran lebar cangkang antara 3-4 cm yang terjadi di Laut adalah diduga kuat disebabkan oleh perubahan kondisi suhu yang terjadi secara ekstrim pada periode waktu yang singkat. Fase perkembangan stadia larva merupakan masa kritis yang dimana pengaruh perubahan parameter lingkungan khususnya suhu yang tidak sesuai sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sehingga dapat menyebabkan kematian Doroudi dan Southgate, 1999; Yukihira et al., 2000; Cataldo et al., 2005; Dove dan O’Connor, 2007. Tiram mutiara atau kerang mutiara Pinctada maxima merupakan salah satu sumber daya laut yang berpotensi ekonomi tinggi tetapi persediaannya dari alam tidak sebanding dengan pesatnya kebutuhan pasar untuk produk ini, sehingga populasi tiram mutiara makin menipis dan harganya pun terus meningkat. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan usaha budidaya dan pemilihan lokasi yang tepat dengan didukung parameter hidrometeorologi yang sesuai baku mutu untuk biota laut adalah satu faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan usaha budidaya. Usaha budidaya tiram mutiara merupakan salah satu potensi perairan di Indonesia khususnya di wilayah Perairan Lombok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis parameter hidrometeorologi kecepatan arus, suhu permukaan laut, dan salinitas serta pengaruhnya terhadap daerah potensial untuk budidaya tiram mutiara berdasarkan pola musiman di Perairan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini memanfaatkan data citra satelit pada bulan Januari 2006 hingga bulan Desember 2016. Metode yang digunakan yaitu dengan mengklasifikasikan setiap parameter hidrometeorologi berdasarkan scoring, kemudian masing-masing parameter di overlay sehingga akan didapatkan skor tertinggi yang mengindikasikan daerah paling potensial untuk budidaya tiram mutiara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum di Perairan Lombok, Nusa Tenggara Barat termasuk sebagai lokasi yang potensial untuk budidaya tiram mutiara. Parameter-parameter yang dijadikan acuan berada pada kisaran baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tiram Mutiara di Perairan Lombok, Nusa Tenggara Barat. KLASIFIKASI TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Tiram mutiara termasuk dalam phylum mollusca, phylum ini terdiri atas 6 klas yaitu Monoplancohora, Amphineura, Gastropoda, Lamellibrachiata, atau Pellecypoda, Seaphopoda, dan Cephalopoda. Tiram merupakan hewan yang mempunyai cangkang yang sangat keras dan tidak simetris. Hewan ini tidak bertulang belakang dan bertubuh lunak Philum mollusca.Klasifikasi tiram mutiara sebagai berikut Kingdom Animalia Sub kingdom Invertebrata Philum Mollusca Klas Pellecypoda Ordo Anysomyaria Famili Pteridae Genus Pinctada Spesies Pinctada maxima Kingdom Animalia Superfilum Eutrochozoa Filum Mollusca Subphylum Conchifera Kelas Bivalvia Subclass Metabranchia Superorder Filibranchia Order Pterioida Subordo Pteriina Superfamili Pterioidea Family Pteriidae Genus Pinctada Spesies Pinctada maxima Nama lokal Kerang mutiara/ tiram mutiara Jenis-jenis tiram mutiara yang terdapat di Indonesia adalah Pinctada maxima, Pinctada margaritifera, Pinctada fucata, Pinctada chimnitzii, dan Pteria penguin. Sebagai penghasil mutiara terpenting adalah tiga spesies yaitu, Pinctada maxima, Pinctada margaritifera dan Pinctada martensii. Sebagai jenis yang ukuran terbesar adalah Pinctada maxima Sutaman, 2000. Wilayah Indonesia yang memiliki potensi yang besar untuk perkembangbiakan tiram mutiara Pinctada maxima adalah wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian Jaya, Sulawesi dan gugusan laut Arafuru Spj, 2007 dan lokasi budidaya tiram mutiara Pinctada maxima yang telah berkembang dengan baik berada di Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, Lampung dan Bali Kotta, 2018. Meskipun sudah cukup banyak wilayah di Indonesia yang membudidayakan tiram mutiara Pinctada maxima ini, namun masih terdapat kekurangan benih dalam pembudidayaannya. Selama ini, masyarakat hanya memanfaatkan benih dari alam yang mana jumlahnya sangat fluktuatif, tergantung musim, dan ukurannya tidak seragam dan sesuai standar untuk diambil sehingga membutuhkan waktu dan tambahan biaya dalam hal pemeliharaannya untuk mencapai ukuran yang standar. Pembudidayaan dengan menggunakan benih dari alam ini dapat menyebabkan jumlah benih di alam akan semakin berkurang dan menyebabkan menurunnya produksi tiram mutiara. Mutiara air laut menjadi salah satu kekayaan komoditas khas Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang dikenal hingga luar negeri. Jenis kerang yang banyak dibudidayakan di pulau ini adalah spesies Pinctada maxima atau biasa dikenal sebagai ratu mutiara. Dengan memperhatikan beberapa parameter hidrometeorologi seperti suhu permukaan laut, kecepatan arus, dan salinitas di perairan, dapat diperoleh informasi lokasi perairan yang tepat sebagai lokasi pembenihan tiram mutiara Pinctada maxima. Dalam pembangunan lokasi pembudidayaan tiram mutiara Pinctada maxima harus memperhatikan banyak faktor, utamanya kondisi perairan yang sesuai. Kondisi perairan yang sesuai akan mendukung serta meningkatkan hasil budidaya tiram mutiara ini sendiri. CIRI-CIRI TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Hamzah dan Nababan 2011 melaporkan bahwa dilihat dari bentuk morfologi anakan kerang mutiara P. maxima dewasa yang digantung pada kedalaman 2m memiliki warna cangkang merah-coklat tua yang merupakan warna aslinya dan ditumbuhi lumut-lumut halus. Pertumbuhan kerang dalam keadaan normal dan sehat dicirikan dengan hasaky yang tumbuh mekar serta tempelan bysuss pada substrat yang kuat Hamzah dan Nababan, 2009. Kaki mengeluarkan sebuah byssus, yang merupakan seikat benang-benang yang kuat berwarna kecoklatan dari protein. Benang ini muncul melalui bagian ventral cangkang dan berfungsi sebagai tali tambat untuk menempelkan kerang pada substrat dan kerang lainnya Gosling, 2015. Kaki dan byssus terletak pada daerah anterior, ventral ke mulut dan dikelilingi oleh labial palps Southgate dan Lucas, 2008. HABITAT TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Romimohtarto dan Juwana 1999 menyatakan bahwa tiram mutiara jenis Pinctada sp. Banyak dijumpai di berbagai Negara seperti Filipina, Thailand, Myanmar, Australia dan perairan Indonesia yang menyukai hidup di daerah batuan karang atau dasar perairan yang berpasir dengan kedalaman 20 –60 m. Sebagian besar spesies Pteriidae menghuni zona littoral dangkal dan daerah sublittoral landas kontinen. Beberapa spesies ditemukan pada dasar perairan berpasir dengan kedalaman maksimal sekitar 100-120m Southgate dan Lucas, 2008. Pada kedalaman 2m kulit cangkang ditumbuhi lumut halus yang mengindikasikan pertumbuhan kerang dalam keadaan normal. Sementara kerang yang diletakan pada kedalaman dibawahnya dominan ditumbuhi teritip biofouling yang bersifat parasit dan menghambat pertumbuhan, merusak susunan kulit cangkang, dan berdampak pada kematian bila tidak cepat dibersihkan Hamzah dan Nababan, 2009; Hamzah dan Setyono, 2009. Hamzah 2010 menyatakan bahwa kerang mabe P. penguin juga banyak ditemukan pada daerah teluk-teluk yang memiliki sonasi hutan bakau dan karang serta menyebar pada kedalaman perairan antara 20–60m. Tingkah laku sebaran larva kerang mutiara, P. maxima dan P. martensii lebih condong bersifat phototaxis negatif atau tidak tertarik pada cahaya dan senang menempel pada substrat yang berwarna gelap Su et al., 2007; Hamzah, 2013a. Hal ini juga terjadi pada larva kerang mabe Pteria penguin yang cenderung menempel pada kolektor yang berwarna agak gelap Hamzah, 2007. Kerang mutiara P. maxima tersebar pada pertengahan daerah Indo-Pasifik, termasuk Asia Tenggara, daerah perairan Pilipina, Laut China Selatan, Thailand, Australia, dari Myanmar ke Pulau Solomon, Papua New Guinea, Polynesia, Micronesia, Jepang Selatan, Fillipina dan Indonesia, Sementara di Indonesia umumnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian jaya, Sulawesi dan Maluku terutama gugus kepulauan Arafura Lind et al., 2007; Southgate dan Lucas, 2008. MANFAAT TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Keindahan mutiara telah lama menjadi perhatian manusia, karena dapat digunakan sebagai perhiasan atau aksesoris lain. Di Indonesia, mutiara pertama kali dimanfaatkan dan diperdagangkan di kawasan timur Indonesia yaitu di Pulau Aru, Maluku Tenggara ANONIMOUS, 1996. Kegiatan ini awalnya hanya bergantung pada hasil alam melalui penyelaman di daerah yang banyak terdapat kerang mutiara. Semakin lama banyak industri perdagangan mutiara yang bermunculan di kawasan tersebut dengan mengandalkan hasil tangkapan alam, sehingga terjadi tangkap lebih over catting. Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi telah berkembang ke daerah lain yang sesuai untuk membesarkan kerang mutiara, misalnya di Teluk Lampung, Sumatera, Lombok, Sumbawa dan Sulawesi ANONIMOUS, 1996. Permintaan mutiara yang sangat tinggi dari konsumen internacional, mengakibatkan ketertarikan pengusaha untuk menanam modalnya di Indonesia atau bekerjasama dengan perusahaan lokal. Perusahaan tersebut tidak hanya menjual mutiara, tetapi juga membudidayakan kerang penghasil mutiara secara intensif, sehingga tidak lagi mengandalkan hasil tangkapan alam. Di Indonesia, jenis-jenis kerang penghasil mutiara yang banyak dibudidayakan antara lain Pinctada maxima, P. Margaritifera dan Pteria penguin SUTAMAN, 1993. JENIS TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Jenis-jenis kerang mutiara yang ada di Indonesia umumnya adalah Pinctada maxima, P. margaritifera, P. fucuta, P. chemnitis dan Pteria penguin. Tetapi penghasil mutiara yang terpenting ada tiga jenis, yaitu Pteria penguin, Pinctada maxima dan, P. margaritifera Sutaman ,1993 MORFOLOGI TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Bentuk luar tiram mutiara tampak seperti batu karang yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi di balik kekokohan tersebut terdapat organ yang dapat mengatur segala aktivitas kehidupan dari tiram itu sendiri. Dalam kelunakan tubuh tiram tersebut terdapat cangkang yang keras untuk melindungi bagian tubuh agar terhindar dari benturan maupun serangan hewan lain. Disamping itu, dalam cangkang yang jumlahnya satu pasang dan mempunyai bentuk yang berlainan itu terdapat mother of pearl atau lapisan induk mutiara serta nacre yang dapat membentuk lapisan mutiara. Sutaman 1993 Kulit mutiara Pinctada maxima ditutupi oleh sepasang kulit tiram Shell, cangkan, yang tidak sama bentuknya, kulit sebelah kanan agak pipih, sedangkan kulit sebelah kiri agak cembung. Specie ini mempunyai diameter dorsal-ventral dan anterior-posterior hampir sama sehingga bentuknya agak bundar. Bagian dorsal bentuk datar dan panjang semacam engsel berwarna hitam. Yang berfungsi untuk membuka dan menutup cangkang. Winarto, 2004. Cangkang tersusun dari zat kapur yang dikeluarkan oleh epithel luar. Sel epitel luar ini juga menghasilkan kristal kalsium karbonat Ca CO3 dalam bentuk kristal argonit yang lebih dikenal sebagai nacre dan kristal heksagonal kalsit yang merupakan pembentuk lapisan seperti prisma pada cangkang. Menurut Sutaman 1993 bentuk cangkang bagian luar yang keras apabila dipotong atau dibelah secara melintang, maka ada tiga lapisan yang akan tampak, yaitu lapisan periostrakum yang berada paling atas atau luar, dan lapisan prismatik yang terdapat di bagian tengah. Sedangkan lapisan yang agak ke dalam yang berhubungan dengan organ dalam disebut lapisan nacre atau lapisan mutiara. Ketiga lapisan tersebut, jika dilihat dari zat penyuusunnya masing-masing adalah sebagai berikut 1 Lapisan periostrakom adalah lapisan kulit terluar yang kasar yang tersusun dari zat organic yang menyerupai tanduk. 2 Lapisan prismatik, adalah lapisan kedua yang tersusun dari Kristal-kristal kecil yang berbentuk prisma dari hexagonal caltice. 3 Lapisan mutiara atau nacre adalah lapisan kulit sebelah dalam yang tersusun dari kalsium karbonat CaCO3. Sutaman 1993. Menurut Sutaman 1993 apabila cangkang tiram dibuka, maka akan terlihat sekumpulan organ tubuh yang berfungsi sebagai pengatur segala aktivitas kehidupan tiram mutiara itu sendiri. Namun secara umum, organ tubuh tiram mutiara dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, mantel dan organ lain. 1. Kaki Kaki tiram mutiara merupakan suatu organ tubuh yang mudah bergerak dan berbentuk seperti lidah yang dapat memanjang dan memendek. Kaki ini tersusun dari jaringan otot yang menuju ke berbagai jurusan, sehingga dapat digunakan untuk bergerak terutama waktu masih muda. Sedangkan setelah agak dewasa dan hidup menempel pada suatu substrat, kaki tidak lagi dugunakan untuk bergerak, tetapi menggunakan byssusnya untuk menempel. Selain itu, kaki tiram juga berfungsi untuk membersihkan kotoran yang mungkin menempel pada insang maupun mantel. 2. Mantel Mantel merupakan jaringan yang dilindungi oleh sel-sel epithelial dan dapat membungkus organ bagian dalam. Letaknya berada di antara cangkang bagian dalam atau epithel luar dengan organ dalam atau mass viseralis. Sel-sel dari epithel luar ini akan menghasilkan Kristal kalsium karbonat CaCO3 dalam bentuk Kristal aroganit yang lebih dikenal denga nama lapisan mutiara. Sel ini juga membentuk bahan organik protein yang disebut kokhialin sebagai bahan perekat Kristal kapur. Apabila potongan mantel ditransplantasikan ke dalam tubuh tiram akan menghasilkan zat kapur. 3. Organ Dalam Bagian ini letaknya agak tersembunyi setelah mantel dan merupakan pusat aktivitas kehidupannya yang terdiri dari insang, mulut, jantung, susunan syaraf, alat perkembangbiakan, otot, lambung, usus dan anus. Berikut merupakan organ bagian dalam dari tiram mutiara 1. Gonad 2. Hati 3. Perut 4. Kaki 5. Inti 6. Mantel 7. Otot adductor 8. Otot retractor FISIOLOGI TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA 1. Sistem Pencernaan Seperti halnya pada jenis kerangan yang lain, tiram mutiara mampu memanfaatkan phytoplankton yang terdapat secara alamiah di sekitarnya. Tiram mutiara bersifat filter feeder atau mengambil makanan dengan cara menyaring pakan yang ada di dalam air laut. Getaran silia pada insang menimbulkan arus air yang masuk ke dalam ronga mantel. Gerakan silia akan memindahkan phytiplankton yang ada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau melalui simpul bibir yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam mulut Gosling; 2004 Mulut terlerak pada bagian ujung depan saluran pencernaan atau disebelah atas kaki. Makanan yang ditelan masuk ke dari mulut kemudian melaui kerongkongan yang pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit luar cuticle kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Dari perut sisa makanan kotoran akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya seperti hurus S kemudian keluar lewat anus Velayudhan and Gandhi 1987 dalam Winanto, 2009 2. Sistem Pernapasan Insang merupakan organ yang mempunyai peran fungsional baik dalam pernapasan maupun osmoregulasi. Sel-sel yang berperan pada proses osmoregulasi adalah sel-sel chlorida yang terletak pada bagian dasar lembaran-lembaran insang. Insang berjumlah empat buah, berbentuk sabit, dua insang berada di sisi kanan dan kiri, menggantung pada pangkal mantel seperti lipatan buku Velayudhan and Gandhi 1987 dalam Winanto, 2009. Air masuk melalui saluran inhelan akan berhenti pada bagian mantel, lalu secara cepat dan kompak bekerjasama dengan insang sehingga dapat memanfaatkan udara yang terangkut dan air dikeluarkan kembali melalui saluran ekshalen. Air serta darah yang tidak berwarna masuk melaui beberapa filamen tunggal lalu mengalir ke luar menuju pinggir insang, kemudian melintas ke atas berputar kembali melalui filamen dan masuk ke branchial atau ctenidial. Dengan bantuan silia-silia pada branchial dapat menimbulkan arus yang masuk ke bilik palial dan melintas ke atas, melaui lamela branchial. Jadi selain menjalankan fungsi pernafasan, filamen pada insang dan mantel dapat memperlancar peredaran darah. Gosling, 2004; Velayudhan and Gandhi 1987 REPRODUKSI TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Kerang mutiara bersifat hermaprodit dan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan sel kelamin kerang mutiara P. maxima yaitu ketersediaan jumlah makanan di sekitar tempat hidupnya. Jika persediaan makanan cukup, maka alat reproduksinya betina, sedangkan apabila persediaan makanan kurang maka alat reproduksinya jantan Winanto, 2004. Kerang mutiara P. maxima telah mencapai kematangan gonad akhir pada tahun pertama, ditandai kecenderungan protandrous dengan pemijahan terjadi semua berentetan tahun, dengan suatu puncak pada bulan September-November dengan suhu antara 27oC dan 29oC Southgate dan Lucas, 2008. Menurut Gomez-Robles et al. 2005 puncak reproduksi P. margaritifera terjadi pada musim panas yaitu pada bulan Agustus dengan suhu air 29,5°C. Tingginya tingkat kematangan gonad dan pasca vitellogenik oosit selama musim dingin, berkaitan dengan suhu laut yang hangat yaitu 23-24°C. Selain itu, selama musim dingin, oosit mengalami artesia. Pemijahan kerang mutiara biasanya dipicu oleh perubahan kondisi lingkungan, seperti kenaikan atau penurunan suhu air atau perubahan salinitas, dan perubahan serupa digunakan untuk menginduksi pemijahan dalam kondisi budidaya Southgate dan Lucas, 2008. Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan memijah lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina mengelurkan sel-sel telurnya Southgate dan Lucas, 2008; Saoruddin, 2004 dalam Susilowati dan Sumantadinata, 2011; dan Hamzah, 2013a. Narita et al. 2008 menambahkan bahwa bentuk morfologi spermatozoa dari kerang mutiara, P. Fucata martensii dibagi dalam 3 bagian yaitu acrosoma, nucleus, mitochondrion dan flagellum. Kemudian telur yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter 55-65 ĂŽÂŒm Supii, 2007. Menurut Southgate dan Lucas 2008 bahwa perkembangan larva kerang mutiara membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu air, nutrisi dan ketersediaan substrat yang tepat untuk proses menempel. Lebih lanjut Hermawan dkk. 2007 menjelaskan bahwa pada kondisi normal yaitu suhu berkisar antara 28–300C, larva akan menempatkan diri untuk menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 20–22 hari dengan ukuran 200–250ĂŽÂŒm sedangkan pada rentang suhu 24,3–27,20C, larva baru akan menetap dan melekat pada spat kolektor setelah berumur 32 hari dan berukuran 250–300ĂŽÂŒm. Gambar. Siklus Hidup Kerang Mutiara P. maxima Keterangan a. telur dan sperma; b. telur dibuahi; c. pembelahan sel; d. gastrula; e. larva bentukd; f. stadia umbo; g. spat; h. dewasa Sumber Winanto, 2009 Siklus hidup kerang dimulai dengan fertilisasi telur, biasanya dalam perairan terjadi disekeliling kerang dewasa Dame, 2012. Fase kehidupan awal kerang mutiara dimulai dengan penonjolan polar, kemudian membentuk polar lube II yang merupakan awal proses pembelahan sel. Setelah terjadi fertilisasi, maka akan terjadi fase pembelahan menjadi 2, 4, 8, 16, dan 32 sel dengan kisaran waktu ±45 menit sampai ±2 jam kemudian mencapai fase morula multi sel pada waktu ± 2,5 jam, fase blastula dicapai pada umur ±3,5 jam dan mulai bergerak berputar-putar selanjutnya pada waktu ± 7 jam mencapai fase gastrula yang dimana pada fase ini bersifat fotonegatif serta bergerak dengan silia, kemudian pembentukan granula setelah pembelahan sel terakhir sudah bersilia setelah berumur antara 7-9 jam Hamzah, 2008a; dan Hamzah, 2013a. Gambar. Morfologi Tahapan Perkembangan Larva P. maxima Keterangan a. D-veliger; b. umbo awal; c. umbo tengah; d. eye-spot; e. umbo akhir pediveliger; f. plantigrade Sumber Winanto, 2009 Stadia awal larva P. maxima bentuk D dijumpai setelah 24 jam, larva mempunyai cangkang prodissocanch I dengan ukuran kira-kira 70 x 60ĂŽÂŒm panjang x tinggi Southgate dan Lucas, 2008. Larva stadia veliger bersifat poto-positif, sehingga nampak berenang-renang disekitar permukaan air Brusca, 1990 dalam Winanto, 2009. Southgate dan Lucas 2008 menambahkan bahwa fase D-veligers menunjukan pertumbuhan awal cangkang sekitar 1-2 hari setelah fertilisasi dan setelah itu bagian umbo mulai timbul pada bagian dorsal cangkang. Fase eye spot ditandai dengan bintik hitam pada dua sisi cangkang serta mulai menempel pada kolektor setelah mencapai 15-17 hari. Pada larva P. fucata stadia eye-spot berkembang pada hari ke-15 dengan ukuran 190 x 180 ĂŽÂŒm Alagarswami et al., 1987 dalam Winanto 2009. Pada fase pedi-veliger umbo akhir yang dicapai pada 18–20 hari terlihat mulai terbentuk kaki byssus yang menonjol pada bagian dorsal yang digunakan untuk menepel. Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva. Beberapa larva yang belum mendapatkan tempat untuk menempel masih melakukan gerakan memutar lambat dengan terus mencari tempat untuk menempel Wardana dkk., 2014. Fase plantigrade yaitu akhir planktonik dengan ditandai pembentukan cangkang telah sempurna lengkap dengan anterior, posterior dan byssus, fase ini terjadi setelah berumur antara 20–22 hari. Selanjutnya pada fase post-larva yang dicirikan dengan berkembang dan tumbuh dalam keadaan menempel pada kolektor, berumur antara 22-24 hari. Fase spat juvenil berkembang dan tumbuh menjadi fase juvenil berumur antara 29-30 hari. Saat menjadi spat bentuk morfologi telah lengkap menyerupai anakan kerang mutiara berumur antara 33-40 hari Hamzah, 2008; dan Hamzah, 2013a. Stadia spat pada perkembangan larva kerang, khususnya jenis Pinctada sp., secara normal dapat terbentuk pada umur 30 hari Evans et al., 2007. Benih kerang mutiara dapat dikatakan memasuki stadia juvenil, apabila benih memiliki ukuran panjang cangkang luar berkisar antara 0,8-1 cm. Ukuran tersebut dapat dicapai pada benih umur 60 hari atau 3-4 minggu pemeliharaan dilaut Wardana dkk., 2014. Menurut Winanto 2004 bahwa selama pertumbuhan larva mengalami 3 kali periode kritis yaitu pertama pada fase D yaitu larva pertama kali mulai makan, kedua pada fase umbo dan terakhir pada fase plantigrade yaitu pada saat larva mengalami perubahan kebiasaan hidup dari planktonis menjadi spat yang hidupnya menetap di dasar. Kematian larva tertinggi terjadi pada periode plantonik yaitu dari fase umbo-veliger ke fase pediveliger, dan kematian kedua terjadi pada periode bentik yaitu fase plantigrade ke fase spat Supii, 2007; Hamzah, 2008a. Tiram mutiara mempunyai jenis kalamin terpisah, kecuali pada beberapa kasus tertentu ditemukan sejumlah individu hermaprodit terjadi perubahan sel kelamin sel reversal biasanya terjadi pada sejumlah individu setelah memijah atau pada fase awal perkembangan gonad. Fenomena sex reversal pada tiram mutiara Pinctada maxima menunjukan bahwa jenis kelamin pada tiram teryata tidak tetap. Bentuk gonad tebal menggembung pada kondisi matang penuh, gonat menutupi organ dalam seperti perut, hati, dan lain-lain. Kecuali bagian kaki pada fase awal, gonad jantan dan betina secara eksternal sangat sulit dibedakan, keduanya berwarna krem kekuningan. Namun, setelah fase matang penuh, gonad tiram mutiara Pinctada maxima jantan berwarna putih krem, sedangkan betina berwarna kuning tua. Pada tiram Pinctada fucata warna gonad ini terjadi sebaliknya. Menurut Winanto 2004 bahwa, Tingkat kematangan gonad tiram mutiara dikelompokkan menjadi 5 fase yaitu Fase I Tahap tidak aktif/salin/istrahat Inactife/spent/resting Kondisi gonad mengecil dan bening transparan dalam beberapa kasus, gonad berwarna oranye pucat. Rongga kosong, sel berwarna kekuningan lemak. Pada fase ini sangat sulit untuk dibedakan. Fase II Perkembangan/pematangan Developing/maturing Warna transparan hanya terdapat pada bagian tertentu, material gametogenetik sel kelamin mulai ada dalam gonad sampai mencapai fase lanjut, gonad mulai menyebar di sepanjang bagian posterior disekitar otot refraktor dan lebih jelas lagi dibagian anterior-dorsal. Gamet mulai berkembang disepanjang dinding katong gonad. Sebagian besar oocyt bakal telur bentuknya belum beraturan dan inti belum ada. Ukuran rata-rata oocyt 60 ĂŽÂŒm x 47,5 ĂŽÂŒm. Fase III Matang Mature Gonad tersebar merata hampir keseluruh jaringan organ, biasanya berwarna krem kekuningan. Oocyt berbentuk seperti buah pir dengan ukuran 68 x 50 ĂŽÂŒm dan inti berukuran 25 ĂŽÂŒm. Fase IV Matang penuh/memijah sebagian Fully maturation/partially spawned Gonad menggembung, tersebar merata dan secara konsisten akan keluar dengan sendirinya atau jika ada sedikit-sedikit trigger getaran. oosyt bebas dan terdapat diseluruh dinding kantong. Hampir semua oosyt berbentuk bulat dan berinti, ukuran oosyt rata-rata 51,7 ĂŽÂŒm. Fase V Salin Spent Bagian permukaan gonad mulai menyusut dan mengerut dengan sedikit gonad kelebihan gamet tertinggal didalam lumen saluran-saluran didalam organ reproduksi pada kantong. Jika ada oosyt maka jumlahnya hanya sedikit dan bentuknya bulat, ukuran rata-rata oosyt 54,4 ĂŽÂŒm. Pada musim tertentu, induk Tiram mutiara di alam yang telah dewasa akan bertelur. Kemudian, telur-telur tersebut akan di buahi oleh sel kelamin jantan sperma. Pembuhan terjadi secara eksternal didalam air. Telur yang telah di buahi akan mengalami perubahan bentuk. Mula-mula terjadi penonjolan polar, lalu membentuk polar lobe II yang merupakan awal proses pembelahan sel, dan akhirnya menjadi multisel. Tahap berikutnya adalah fase trocofor. Dengan bantuan bulu-bulu getar, trocofor akan berkembang menjadi veliger larva berbentuk D yang ditandai dengan tumbuhnya organ mulut dan pencernaan. Pada tahap ini larva sudah mulai makan dan tubuhnya telah di tutupi cangkang tipis. Perkembangan selanjutnya adalah tumbuh vilum, pada fase ini biasanya larva sangat sensitif terhadap cahaya dan sering dipermukaan air. Selama fase planktonis, larva biasanya berenang dengan menggunakan bulu-bulu getar atau hanyut dalam arus air. Dengan tumbuhnya vilum larva memasuki stadia umbo, kemudian secara bertahap cangkang juga ikut berkembang. Bentuk cangkangnya sama mantel sudah berfungsi secara permanen. Kemudian selanjutnya menjadi podifeliger yang di ikuti tumbuhnya kaki sebagai akhir stadium planktonis. Gerakan-gerakannya sederhana dari berenang sampai berputar-putar dilakukan dengan vilum dan kaki. Setelah kaki berfungsi dengan baik velum akan menghilang, lembar-lembar insang mulai tampak jelas. Perkembangan akhir larva yaitu perubahan fase plantigrade menjadi spat bibit dan akan menetap. Selanjutnya akan tumbuh berkembang menjadi tiram mutiara dewasa dan dapat beruba kelaminnya. Banyak ahli yang sependapat bahwa Pinctada maxima terjadi perubahan kelamin yang bertepatan dengan musim pemijahan setelah telur atau sperma habis di seburkan keluar, Mulyanto, 1987. TINGKAH LAKU TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Tiram mutiara jenis Pinctada sp. yang banyak dijumpai di berbagai Negara seperti Pilipina, Thailand, Birma, Australia dan perairan Indonesia, sebenarnya lebih menyukai hidup di daerah batuan karang atau dasar perairan yang berpasir. Disamping itu juga banyak dijumpai pada kedalaman antara 20 m – 60 m. Untuk perairan Indonesia sendiri jenid tiram Pinctada maximabanyak terdapat di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Irian Jaya, Sulawesi dan gugusan laut Arafuru. Sutaman 1993. Berbeda dengan jenis ikan yang lain, cara makan tiram mutiara ini dilakukan dengan menyaring air laut. Sedangkan cara mengambil makanannya dilakukan dengan cara menggetarkan insang yang menyebabkan air masuk ke dalam rongga mantel. Kemudian dengan mengerakkan bulu insang, maka plankton yang masuk akan berkumpul di sekeliling insang. Selanjutnya melalui gerakan labial palp plankton akan masuk ke dalam mulut Sutaman 1993. Kerang mutiara P. maxima termasuk biota laut bersifat plankton feeder, sehingga dipercaya akan membersihkan air dari kemungkinan terjadinya blooming plankton yang tidak dikehendaki. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/, Monochrysis lutheri, Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp., Untuk fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut. Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton flagelata yang paling penting untuk pakan adalah Isochrysis galbana dengan ukuran sekitar 7 ĂŽÂŒm. Adakalanya digunakan jenis Tetraselmis tetrathele dan Chlorella sp., terutama untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran induk Winanto, 2004; dan Winanto, 2009. Menurut Marshall et al. 2010 secara umum, kombinasi dari spesies alga I. galbana dan C. calcitrans sangat berhasil untuk pemeliharaan larva kerang. Penggunaan C. calcitrans terbukti menghasilkan hasil yang baik dalam hal pertumbuhan dan kelangsungan hidup untuk Crassostrea gigas, Venerupis philippinarum dan Pecten maximus, sedangkan hanya pakan I. galbana saja tidak. Menurut CMFRI 1991 dalam Supii 2007 menyatakan bahwa budidaya pada stadia awal larva D shape sampai stadia umbo diberi pakan fitoplankton jenis Isochrysis galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Beberapa jenis mikroalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp., Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros meulleri, Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina, Tetraselmis tetrathele, Tetraselmis suecica, namun mikroalga yang dapat dicerna oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana Winanto, 2009. Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri memiliki kandungan lemak yang tinggi Martinez-Fernandez, 2006. Larva kerang mutiara P. maxima lebih efektif diberikan pakan alami jenis Isochrisis galbana sebagai bahan pakan utama sehingga memberikan perkembangan yang cenderung lebih cepat mencapai fase spat hari ke 18 Hamzah, 2008a. Menurut Brown 1991 dalam Hermawan dkk. 2007 I. galbana memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap yaitu protein 29%, karbohidrat 12,9% dan lemak 23% serta mempunyai kandungan EPA sebesar 1,88% dan DHA sebesar 6,76% sedangkan kandungan gizi Chaetoceros sp. Adalah protein 29%, karbohidrat 9% dan lemak 12%. Kerang mutiara P. maxima merupakan filter feeder yang menyaring plankton dengan menggerakan silia, sehingga menimbulkan arus dan kemudian masuk kedalam rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan fitoplankton yang berada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau melalui simpul bibir yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam mulut Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009. Kerang hijau bersifat filter feeder penyaring makanan sehingga kebutuhan makanan tergantung pada perairan sekitarnya terutama makanan yang terbawa oleh arus Hermawan dkk., 2007. Pada prinsipnya mikro alga yang digunakan sebagai pakan larva kerang atau organisme laut lainnya adalah mempunyai ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai dengan bukaan mulut larva/spat, mudah dibudidayakan, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun Ponis et al., 2006. Makanan yang ditelan masuk dari mulut kemudian melalui kerongkongan yang pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit luar cuticle kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Sisa makanan akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya seperti huruf S kemudian keluar lewat anus Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009. PERTUMBUHAN TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA Pertumbuhan tiram mutiara biasanya sangat tergantung pada temperature air, salinitas, makanan yang cukup dan presentase kimia dalam air laut. Pada musim panas, dimana suhu air naik, tiram mutiara dapat tumbuh secara maksimal. Namun jika suhu dan salinitas sepanjang tahun stabil dengan kondisi lingkungan yang ideal, maka pertumbuhan pun akan stabil pula, dengan pertambahan maksimum bisa mencapai 1 cm per bulan. Menurut Sutaman 1993 kondisi dan kualitas air yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, ukuran dan kualitas mutiara adalah sebagai berikut 1. Dasar Perairan Dasar perairan secara fisik maupun kimia berpengaruh besar terhadap susunan dan kelimpahan organisme di dalam air termasuk bagi kehidupan tiram mutiara. Adanya perubahan tanah dasar sedimen akibat banjir yang menyebabkan dasar perairan tertutup lumpur sering menimbulkan kematian pada tiram terutama yang masih muda. Oleh karena itu dasar perairan yang berpasir atau berlumpur tidak layak untuk lokasi budidaya tiram mutiara. Dasar perairan yang cocok untuk budidaya untuk budidaya tiram mutiara ialah dasar perairan yang berkarang atau mengandung pecahan-pecahan karang. Bisa juga dipilih dasar perairan yang terbentuk akibat gugusan karang yang sudah mati atau gunungan-gunungan karang. 2. Kedalaman Kedalaman air dilokasi budidaya mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kualitas mutiara. Berdasarkan penelitian semakin dalam letak tiram yang dipelihara,maka kualitas mutiara yang dihasilkan akan semakin baik. Kedalaman perairan yang cocok untuk budidaya tiram mutiara ialah berkisar antara 15 m s/d 20 m. Pada kedalaman ini pertumbuhan tiram mutiara akan lebih baik. 3. Arus Air Banyak sedikitnya kelimpahan plankton sebagai makanan alami tiram sangat tergantung pada kuat tidaknya arus yang mengalir dilokasi tersebut. Tiram mutiara memiliki sifat filter feeder. Oleh karena itu tiram mutiara akan mudah kelaparan pada kondisi arus yang terlalu kuat yang terjadi selama berjam-jam dalam sehari. Lokasi yang cocok untuk budidaya tiram mutiara ialah yang terlindung dari arus yang kuat. Disamping itu pasang surut yang terjadi mampu menggantikan massa air secara total dan teratur,sehingga ketersediaan oksigen terlarut maupun plankton segar dapat terjamin. 4. Salinitas Kualitas mutiara yang terbentuk dalam tubuh tiram dapat dipengaruhi oleh kadar salinitas yang terlalu tinggi, warna mutiara menjadi keemasan. Sedangkan pada kadar salinitas di bawah 14% atau di atas 55% dapat mengakibatkan kematian tiram yang dipelihara secara massal. Sebenarnya tiram mutiara ini mampu bertahan hidup pada kisaran salinitas yang luas,yaitu antara 20% – 50%. Tetapi salinitas yang terbaik untuk pertumbuhan tiram mutiara adalah 32% – 35%. 5. Suhu Suhu memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan lapisan mutiara dan pertumbuhan tiram itu sendiri. Di beberapa Negara, pertumbuhan tiram mutiara yang ideal menunjukan kisaran suhu yang berbeda-beda. Di jepang, misalnya, pertumbuhan yang terbaik berkisar antara 200 C – 250 C, sebab pada suhu di atas 280 C menunjukan tanda-tanda yang melemah. Hal ini bisa dimengerti, karena rata-rata suhu harian di jepang masih relative rendah, walupun musim panas. Sedangkan di teluk Klutch India, pertumbuhan yang pesat dicapai pada suhu anatara 230 C – 270 C. Untuk Negara kita sendiri yang beriklim tropis, pertumbuhan yang terbaik dicapai pada suhu antara 280 C – 300 C. Pada iklim ini ternyata sangat menguntungkan untuk budidaya tiram mutiara, sebab pertumbuhan lapisan mutiara dapat terjadi sepanjang tahun. Sedangkan Negara yang memiliki empat musim iklim sub-tropis biasanya pertumbuhan tiram mutiara tidak terjadi sepanjang tahun, karena pada suhu air di bawah 130 C musim dingin pelapisan mutiara atau penimbunan zat kapur akan terhenti. 6. Kecerahan Banyak sedikitnya sinar matahari yang menembus ke dalam perairan sangat tergantung dari kecerahan air. Semakin cerah perairan tersebut, maka semakin dalam sinar yang menembus ke dalam perairan. Demekian pula sebaliknya. 7. Kesuburan Perairan Tiram sebagai binatang yang tergolong filter feeder hanya mengandalakan makanan dengan menyerap plankton dari perairan sekitar, sehingga keberadaan pakan alami memegang peranan yang sangat penting. Sedangkan keberadaan pakan alami itu sendiri sangat berkaitan erat dengan kesuburan suatu perairan. Pada kondisi perairan yang kurang subur tercemar, komposisi pakan alami jumlahnya akan sangat sedikit, sehingga kurang mendukung untuk penyediaan pakan yang diperlukan tiram. Padahal tiram yang dipelihara dalam laut, jelas tidak mungkin diberi pakan tambahan sebagaimana ikan atau udang yang dipelihara dalam tambak. Oleh karena itu lokasi budidaya pada kondisi perairan yang subur mutlak diperlukan. PERAN TIRAM MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA DI PERAIRAN Peranan kerang mutiara sebenarnya hampir sama dengan organisme benthos lainnya yang memiliki peranan yang penting dalam ekosistem perairan. Saat organisme ini mati akan membusuk dan kemudian meninggalkan nutrisi yang digunakan kembali oleh tanaaman air dan hewan air lainnya dalam rantai makanan. Selain itu dapat juga digunakan untuk melihat kualitas air pada suatu perairan. Karena organisme ini tidak seperti ikan yang bisa bergerak banyak dan jauh sehingga mereka kurang mampu menghindar dari efek sedimen dan polutan lain yang mengurangi kualitas air. Oleh karena itu, mereka dapat memberikan informasi mengenai kualitas air dan siklus hidup mereka memungkinkan penelitian yang dilakukan ahli geologi akuatik untuk menentukan setiap penurunan kualitas lingkungan. Kerang mutiara termasuk biota laut bersifat plankton feeder, sehingga dipercaya akan membersihkan mutu air dari kemungkinan adanya blooming plankton yang tidak dikehendaki. Namun apabila kegiatan budidaya ini dalam kapasitas yang besar dan melebihi daya dukung dari perairan diduga dapat juga menyebabkan krisis plankton yang merupakan produser primer dalam suatu ekosisitim perairanSupi dan Arthana, 2008. PENULIS Putu Ayu Weda Astuti FPIK Universitas Brawijaya Angkatan 2015 EDITOR Gery Purnomo Aji Sutrisno FPIK Universitas Brawijaya Angkatan 2015 DAFTAR PUSTAKA Al Habib, A. H., A. W. Fitri., N. P. F Anggraeni dan D. Sucahyono. 2018. Pemetaan Daerah Potensial Budiday Tiram Mutiara Pinctada Maxima Menggunakan Citra Satelit Berdasarkan Parameter Hidrometerologi Terhadap Pola Musiman di Perairan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Prosiding SNFA Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya. Hal 1-13. Dwiponggo., A. 1976. “ Mutiara”. Jakarta Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Google diakses pada 1 November 2015 Hamzah Dan Bisman Nababan., 2009. “Studi Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Anakan Kerang mutiara Pinctada maxima Pada Kedalaman Berbeda Di Teluk Kapontori, Pulau Buton”. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional, Perhimpunan Biologi Indonesia XIX, pada Tgl. 9-10 Juli 2008 di Univ. Hasanuddin, Makasar. Hamzah, A. S. 2016. Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara Pinctada maxima pada Kondisi Suhu yang Berbeda. SKRIPSI. FPIK universitas Halu Oleo Kendari. Hal 1-110. Ikenoue and Kafuku 1992., Tiram Mutiara Pinctada maxima” Artikel online.http// diakses pada 1 November 2015. Muhditernate, 2011., “Budidaya Tiram Mutiara Pinctada maxima”Artikel online. http// diakses pada 1 November 2015. Mulyanto., 1987. “Teknik Budidaya Laut Tiram Mutiara di Indonesia”. Direktorat Jenderal Perikanan – International Development Research Centre, Jakarta. Romimohtarto, K. dan S. Biologi Laut. Ilmu Tentang Pengetahuan Biota Laut. Puslitbang Oceanografi-LIPI. Jakarta 527 hal. Sudjana., 1991. “Desain dan Analisis Eksperimen, Edisi III”.Bandung Tarsito. Sutaman., 1993. Teknik Budidaya Tiram Mutiara dan Proses Pembuatan Mutiara, Yogyakarta Penerbit Kanisius. Winanto., 2004. “Memproduksi Benih Tiram Mutiara”. Depok Penebar Swadaya. diakses pada 1 November 2015.
Salmacing Streblosoma dan Syllis ditemukan menempel pada permukaan luar cangkang tiram mutiara. Lysidice, Nereis, Phylodoce, dan Syllis juga ditemukan pada lapisan dalam cangkang. Polydora hanya terdapat pada lapisan dalam cangkang. Kata kunci: polikaeta, tiram mutiara, Pinctada maxima PENDAHULUAN Tiram mutiara yang dibudidaya-kan di
Soal Uji Kompetensi Buku Biologi untuk SMA/MA Kelas X Penerbit Erlangga Halaman 390-399 Soal Lapisan mutiara yang mengkilap pada cangkang tiram Margaritifera adalah.... A. nakreas B. mantel C. prismatik D. epitel E. periostraku Jawaban Pembahasan Cangkang kerang muatiara terdiri atas 3 lapisan, yaitu Periostrakum adalah lapisan terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung Lapisan prismatic tersusun dari kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma, Lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit karbonat yang tipis dan paralel. *Baca buku halaman 342 Lihat Pembahasan lengkap soal uji kompetensi materi Plantae halaman 390-3993 Buku Erlangga K-13 untuk Kelas X
luarsebagai pelindung ‱ prismatik : menghasilkan kalsium karbonat (caco3) ‱ nakreas : mengeluarkan (sekresi) mutiara ‱ pernapasan dengan insang lembaran ‱ sistem saraf tiga ganglion (anterior, pedal, posterior ‱ makanan masuk lewat sifon ‱ reproduksi seksual menghasilkan zigot-larva contoh : pinctada margaritifera (tiram mutiara)
Lapisan mutiara yang mengilap pada cangkang tiram Margaritifera adalah ...a. nakreasb. mantelc. perismatikd. epitele. periostrakumJawab A. nakreasPembahasanTiram Margaritifera tergolong Mollusca dan dimasukkan kedalam kelas Pelecypoda. Cangkang pelecypoda tersusun dari tiga lapisan, yaitu periostrakum paling luar, prismatik lapisan kapur di bagian tengah, dan nakreas lapisan mutiara. Dibawah cangkang terdapat mantel berbentuk jaringan tipis dan lebar yang menutup seluruh tubuhnya. Diantara epitel mantel dan permukaan cangkang bagian dalam nakreas terdapat rongga berisi cairan ekstrapalial. Bila benda asing masuk ke rongga berisi cairan ekstrapalial, benda tersebut akan dilingkupi oleh cairan yang lama-kelamaan mengendap menjadi lapisan-lapisan mutiara.
Berikutbeberapa tahapan dalam konservasi atau budidaya kerang mutiara, yaitu: 1. Penyediaan benih. Benih biasanya didapat dari hasil tangkapan alam. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi kini benih tiram ini sudah dapat dihasilkan dari proses pembenihan di hatchery. 2. Pembesaran.
19. Lapisan mutiara yang mengilap pada cangkang tiram Margaritifera adalah
Kualitasnacre (kerang) yang menentukan kualitas kilau atau sinar mutiara, yang sangat penting untuk keindahan dan nilainya. Proses pembentukan mutiara dimulai jika sebutir pasir yang memasuki tubuh seekor tiram atau kerang di dasar lautan. Karena pasir itu menimbulkan rasa sakit yang amat sangat, kerang itu berusaha mengusirnya.

Pinctada margaritifera adalah spesies kerang mutiara yang umumnya menghasilkan mutiara berwarna hitam sehingga dikenal sebagai mutiara hitam. Di Sulawesi Utara, spesies ini banyak menempati daerah laguna di perairan Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan. Salah satu jenis mutiara yang bisa diproduksi dari spesies kerang ini adalah mutiara jenis mabĂ©. Namun, kajian ilmiah tentang struktur dan senyawa mutiara yang dihasilkan dari kerang P. margaritifera yang berasal dari perairan Arakan belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketebalan lapisan mutiara jenis mabĂ© berdasarkan pertambahan waktu dan mendeskripsikan bentuk struktur pada lapisan mutiara jenis mabĂ© berdasarkan pertambahan waktu. Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan dengan tiga kali masa sampling yaitu pada bulan kedua, keenam dan ketujuh. Pada bulan awal dilakukan penyisipan/penempelan inti mutiara setengah bulat berbahan plastik pada dinding bagian dalam dari cangkang kerang P. margaritifera. Pertumbuhan lapisan diamati dengan mikroskop stereo dan Scanning Electron Microscope SEM. Hasil pengamatan yang didapat adalah tebal rata-rata lapisan mutiara bulan kedua adalah 0,201 mm, bulan keenam adalah 1,026 mm dan 0,914 mm pada bulan ketujuh. Berdasarkan analisis SEM menunjukkan bahwa struktur bangunan lapisan mutiara seperti susunan batu bata dengan ukuran platelet aragonite rata-rata pada bulan kedua adalah 0,511 ”m dan pada bulan keenam adalah 0,604 ”m. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014 13 Perkembangan Mutiara MabĂ© pada Pinctada margaritifera di Perairan Arakan, Sulawesi Utara The Development of MabĂ© Pearl from Pinctada margaritifera in Arakan waters, North Sulawesi Khesyia A. Makhas1*, N. Gustaf F. Mamangkey1, Desy M. H. Mantiri1 1. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado *e-mail Pinctada margaritifera is the pearl oyster species that generally produce black pearls. In North Sulawesi, this species occupies lagoon areas in Arakan, South Minahasa District. One type of pearls that can be produced from this species are mabe pearls. However, scientific studies based on the structure and the elemental compsitions of the produced pearls from P. margaritifera in Arakan waters has never been done. The purpose of this study was to assess the thickness of the pearls over the time and to describe aragonite structures composing the pearls. This research was carried out for seven months with three sampling times 2nd, 6th and 7th. Prior to this, half-round plastic nuclei were inserted glued into the internal part of the shell of P. margaritifera. The development of pearl layers were oberved under stereo microscope and Scanning Electron Microscope SEM. The average thickness of the pearls from the second, sixth and seventh month are respectively. W hile the average thickness of the aragonite platelets from the second and six month are and respectively. _________________________________________________________________________ Keyword Pinctada margaritifera, MabĂ© Pearl, Pearl Structure Pinctada margaritifera adalah spesies kerang mutiara yang umumnya menghasilkan mutiara berwarna hitam sehingga dikenal sebagai mutiara hitam. Di Sulawesi Utara, spesies ini banyak menempati daerah laguna di perairan Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan. Salah satu jenis mutiara yang bisa diproduksi dari spesies kerang ini adalah mutiara jenis mabĂ©. Namun, kajian ilmiah tentang struktur dan senyawa mutiara yang dihasilkan dari kerang P. margaritifera yang berasal dari perairan Arakan belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketebalan lapisan mutiara jenis mabĂ© berdasarkan pertambahan waktu dan mendeskripsikan bentuk struktur pada lapisan mutiara jenis mabĂ© berdasarkan pertambahan waktu. Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan dengan tiga kali masa sampling yaitu pada bulan kedua, keenam dan ketujuh. Pada bulan awal dilakukan penyisipan/penempelan inti mutiara setengah bulat berbahan plastik pada dinding bagian dalam dari cangkang kerang P. margaritifera. Pertumbuhan lapisan diamati dengan mikroskop stereo dan Scanning Electron Microscope SEM. Hasil pengamatan yang didapat adalah tebal rata-rata lapisan mutiara bulan kedua adalah 0,201 mm, bulan keenam adalah 1,026 mm dan 0,914 mm pada bulan ketujuh. Berdasarkan analisis SEM menunjukkan bahwa struktur bangunan lapisan mutiara seperti susunan batu bata dengan ukuran platelet aragonite rata-rata pada bulan kedua adalah 0,511 ”m dan pada bulan keenam adalah 0,604 ”m. __________________________________________________________________________ Kata kunci Pinctada margaritifera, Mutiara MabĂ©, Struktur Mutiara Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014 14 PENDAHULUAN Keindahan mutiara telah mempesona manusia sejak zaman dahulu kala; menjadikannya sebagai simbol kekuasaan, kemewahan dan perkembangan peradaban Strack, 2008. Beberapa spesies kerang mutiara dari genera Pinctada dan Pteria merupakan penghasil mutiara dan banyak digunakan sebagai perhiasan. Kerang mutiara dari kedua genera ini merupakan jenis kerang mutiara yang paling banyak dibudidaya untuk menghasilkan mutiara Southgate dkk., 2008. Secara spesifik, spesies kerang mutiara yang banyak dibudidaya adalah Pinctada fucata, P. maxima, P. margaritifera dan Pteria penguin. Keempat spesies ini banyak tersebar di kawasan Indo-Pasifik, mulai dari perairan Samudera Hindia sampai di Samudera Pasifik termasuk perairan Indonesia Wada dan TĂ«mkin, 2008. Kerang mutiara bibir hitam, Pinctada margaritifera adalah salah satu spesies dari genus Pinctada yang banyak digunakan untuk memproduksi mutiara hitam baik bulat maupun setengah bulat di wilayah Indo-Pasifik Tisdell dan Poirine, 2000 dalam Linard dkk., 2011; Ellis dan Haws, 1999. Jenis mutiara hasil kegiatan budidaya yang banyak diproduksi adalah dari jenis mutiara bulat dan mutiara setengah bulat blister atau mabĂ© Southgate dkk., 2008. Mutiara bulat adalah mutiara yang terbentuk dari inti yang dimasukkan ke dalam gonad sementara mutiara setengah bulat adalah mutiara yang disisipkan/dilekatkan pada cangkang bagian dalam dan menghadap mantel. Namun, informasi ilmiah tentang pembentukan mutiara di Indonesia masih langka apalagi secara spesifik pada mutiara jenis setengah bulat atau mabĂ©. P. margaritifera adalah kerang yang umumnya menempati zona litoral dan sublitoral pada daerah terumbu karang, juga pada daerah laguna di daerah tropis Wada dan TĂ«mkin, 2008; Yukihara, dkk., 1999 seperti di perairan Arakan, Sulawesi Utara. Namun demikian, potensi kerang ini untuk menghasilkan mutiara dari perairan Arakan, sejauh ini belum pernah dikaji. Terdapat lima faktor analisis kualitas mutiara yaitu kilau, warna, ukuran, bentuk dan kekasaran permukaan Taylor dan Strack, 2008. Penunjang kelima faktor tersebut di antaranya adalah dari struktur bangunan lapisan mutiara. Pada penelitian ini diharapkan akan mendapatkan deskripsi penunjang kualitas berdasarkan ketebalan dan struktur salah satu jenis mutiara yaitu mutiara setengah bulat atau mabĂ© yang terbentuk setelah disisip inti setengah bulat berbahan plastik. METODE PENELITIAN Sampel Pinctada margaritifera dikumpulkan dari perairan laut sekitar Desa Arakan, Kecamatan Tatapaan, Kabupaten Minahasa Selatan Gambar 3. Sampel diambil pada bulan kedua, keenam dan bulan ketujuh setelah penyisipan inti mutiara. Dikarenakan keadaan lingkungan, maka pengambilan sampel pada bulan ke-3, 4 dan 5 tidak dapat dilakukan. Koleksi kerang P. margaritifera dilakukan dari sekitar perairan di Desa Arakan, sebanyak 20 kerang; 10 kerang kontrol dan 10 kerang uji. Pemilihan kerang P. margaritifera yang akan disisip inti mutiara dilakukan berdasarkan ukuran kerang yang sama dengan rata-rata ±SD dorso–ventral 8,75±0,79 cm. Kerang disisip dengan inti mutiara yang berbahan plastik dan berbentuk setengah bulat, dengan cara melekatkan inti mutiara ke cangkang bagian dalam setiap individu kerang. Kerang yang sudah selesai disisip inti mutiara dilabel, kemudian dimasukkan ke dalam pocket net’. Setelah itu pocket net’ dibawa menggunakan perahu untuk diikatkan pada rumpon. Pocket net’ ditempatkan pada kedalaman 4 m dari permukaan laut. Pengukuran Ketebalan Lapisan Mutiara Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014 15 Mutiara diambil dari cangkang dengan cara memotong bagian tepi mutiara sehingga menyisakan bagian setengah bulat. Mutiara kemudian dibelah dua secara simetris dengan memotong bagian mutiara tersebut secara vertikal, setelah itu, bagian yang dipotong dengan menggunakan bor kemudian diukur ketebalannya dalam mm menggunakan mikrosop stereo di laboratoium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis Struktur Bangunan Pada Lapisan Mutiara Analisisi struktur bangunan pada lapisan mutiara dilakukan dengan menggunakan SEM Scanning Electron Microscope. Selanjutnya, setiap lapisan aragonite dihitung rata-rata ketebalannya, dimana pengukuran dilakukan secara acak dalam ”m. HASIL DAN PEMBAHASAN Kerang mutiara Pinctada margaritifera yang disisip/ditempel dengan material plastik berbentuk setengah bulat pada cangkang bagian dalam kerang, berhasil membentuk mutiara jenis mabĂ©. Berdasarkan pengamatan visual dan pengukuran ketebalan lapisan mutiara yang dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo didapatkan bahwa lapisan mutiara telah terbentuk melapisi bagian plastik yang ditempelkan di cangkang. Lapisan mutiara yang membungkus material plastik setengah bulat ini mengalami peningkatan penebalan seiring dengan pertambahan waktu Gambar 1. Walaupun terjadi penebalan dalam dua kali monitoring bulan kedua dan keenam, namun peningkatan penebalan hanya sampai pada bulan ke enam, sementara data dari cangkang pada bulan yang ke tujuh menunjukkan penurunan tingkat ketebalan lapisan mutiara Gambar 2. Ketebalan lapisan mutiara teramati pada bulan kedua, adalah mm, pada bulan keenam adalah mm dan pada bulan ketujuh yaitu mm. Lapisan mutiara pada bulan Gambar 1. Lapisan mutiara yang makin menebal seiring pertambahan waktu Atas lapisan mutiara pada bulan kedua; Bawah, lapisan mutiara pada bulan keenam. Gambar 3. Ketebalan rata-rata lapisan mutiara mabe pada Pinctada margaritifera. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014 16 kedua sampai bulan keenam mengalami peningkatan penebalan, sedangkan pada bulan ketujuh, lapisan mutiara ternyata mengalami penurunan ketebalan. Fenomena ini diasumsikan terjadi akibat kerang yang digunakan sebagai kerang uji berasal dari induk yang berbeda dan memiliki umur yang bervariasi Saucedo dan Southgate, 2008. Sehingga, ketika dilakukan sampling kerang pada bulan ketujuh dimungkinkan kerang tersebut memiliki umur yang jauh lebih tua daripada kerang yang disampling pada bulan-bulan sebelumnya. Dengan demikian, pada saat terjadi pelapisan terhadap inti pada kerang berumur tua akan mengalami kejenuhan dan cenderung bertumbuh lebih lambat Schöne, dkk., 2005. Akibatnya lapisan nakreous pun tak banyak. Selain faktor umur kerang, faktor lain yang diasumsikan mempengaruhi ditemukannya kerang yang tidak menebal pada bulan ketujuh adalah akibat faktor lingkungan yang membuat kerang menjadi stress dan terhambat pertumbuhannya Lucas, 2008; Saucedo dan Southgate, 2008. Struktur bangunan pada lapisan mutiara yang dipindai scanning dengan menggunakan SEM Scanning Electron Microscope menunjukkan struktur seperti batu bata. Hal yang sama juga pada struktur bangunan dari cangkang pembentuknya Gambar 3. Berdasarkan analisis SEM dan pengukuran platelet aragonite didapatkan bahwa pada bulan kedua rata-rata tebal lapisan aragonite pada mutiara adalah ”m dan pada bulan keenam adalah ”m. Sedangkan rata-rata lapisan aragonite pada cangkang kerang pada bulan kedua, keenam dan ketujuh adalah ”m, ”m dan ”m Gambar 4. Data lapisan aragonite untuk mutiara pada bulan ketujuh tidak dapat disajikan karena ada kesalahan pemindaian dari laboratorium rujukan Institut Teknologi Bandung. Susunan menyerupai susunan batu bata yang terbentuk baik dalam pelapisan mutiara maupun pada bagian sisi dalam kerang dipercaya sebagai susunan lapisan aragonite Addadi, dkk. 2006; Barthelat, dkk., 2007. Lapisan aragonite yang menyerupai batu bata ini melekat satu sama lain akibat adanya matriks protein Barthelat dkk., 2007. Keteraturan ukuran dan bentuk dari setiap lapisan akan mempengaruhi difraksi cahaya yang masuk sehingga secara otomatis akan mempengaruhi tingkat kilau dari lapisan mutiara atau cangkang internal Snow dan Pring, 2005. Berdasarkan data ukuran platelet aragonite didapatkan ukuran yang bervariasi, baik pada lapisan mutiara maupun pada lapisan internal bagian dalam cangkang. Terdapat juga perbedaan rata-rata ukuran platelet aragonite pada lapisan mutiara Gambar 3. Hasil SEM Scanning Electron Microscope dari lapisan aragonite yang menyusun lapisan mutiara kiri dan cangkang kerang kanan Pinctada margaritifera. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014 17 dan lapisan internal cangkang, dimana lapisan aragonite pada mutiara cenderung memiliki ukuran yang lebih kecil. Sejauh ini belum ada studi yang mendetail untuk membandingkan antara lapisan aragonite pada mutiara mabe dan cangkangnya yang tumbuh dalam satu individu. Namun perbedaan pertumbuhan lapisan atau ketebalan aragonite dimungkinkan pada spesies yang berbeda maupun pada kondisi lingkungan yang berbeda Strack, 2006. Strack 2006 memaparkan lebih detail bahwa ketebalan platelet aragonite untuk mutiara hitam Pinctada margaritifera adalah dari sampai Sementara ukuran platelet terkecil pada mutiara Akoya dari Pinctada fucata, – dan yang terbesar pada mutiara air tawar – Perbedaan tingkat ketebalan berdasarkan waktu sampling umur bulan menurut Gambar 4 dan terdapat peningkatan rata-rata penebalan baik pada mutiara maupun pada cangkang. Namun, peningkatan penebalan hanya terjadi pada bulan kedua dan keenam sedangkan pada bulan ketujuh ketebalan lapisan aragonite menurun. Kondisi ini perbedaan ketebalan lapisan platelet aragonite berhubungan erat dengan tingkat ketebalan lapisan mutiara Sub Bab sebelumnya. Dimana ukuran platelet aragonite akan mengecil dan mempengaruhi ketebalan lapisan mutiara apabila diperhadapkan dengan kondisi ekstrim lingkungan atau berdasarkan usia kerang Schöne, dkk., 2005, Lucas, 2008; Saucedo dan Southgate, 2008. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa 1. Ketebalan lapisan mutiara mengalami peningkatan dari bulan kedua mm sampai bulan keenam mm, tetapi mengalami penurunan ketebalan pada bulan ketujuh mm. 2. Lapisan mutiara tersusun dari lapisan platelet aragonite yang menyerupai tumpukan batu bata dengan rata-rata ketebalan lapisan aragonite pada mutiara bulan kedua adalah ”m dan pada bulan keenam adalah ”m. Gambar 4. Rata-rata ketebalan lapisan aragonite pada mutiara dan cangkang kerang Pinctada margaritifera Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014 18 DAFTAR PUSTAKA Addadi, L., D. Joester, F. Nudelman dan S. Weiner. 2006. Mollusk Shell Formation A Source of New Concepts for Understanding Biomineralization Processes. Wiley-VCH Verlag GmbH dan Co. KGaA, Weinheim. Chem. Eur. J. 2006, 12, 980 – 987. Barthelat, F., H. Tang, P. D. Zavattieri dan H. D. Espinosa. 2007. On the mechanics of mother-of-pearl A key feature in the material hierarchical structure. J ournal of the Mechanics and Physics of Solids 55 2007 306–337. Ellis, S. dan M. Haws. 1999. Producing pearls using the Black-lip Pearl Oyster Pinctada margaritifera. Center for Tropical and Subtropical Aquaculture Publication 141. Linard, C. L., Y. Gueguenb, J. Moriceaua, C. Soyeza, B. Huia, A. Raouxa, J. P. Cuifd, J. C. Cocharda, M. Le Penneccdan G. Le Moullaca. 2011. Calcein staining of calcified structures in pearl oyster Pinctada margaritifera and the effect of food resource level on shell growth. Aquaculture Article of Press. Lucas, J. 2008. Environmental Influences. Dalam P. C. Southgate dan J. S. Lucas Eds., The pearl oyster. Elsevier, Amsterdam. Hal 187 – 229. Saucedo, Southgate, P. 2008. Reproduction, Development and Growth. Dalam P. C. Southgate dan J. S. Lucas Eds., The pearl oyster. Elsevier, Amsterdam. Hal. 131 – 186. Schöne, J. Fiebif. M. Pfeiffer, R. Gleß, J. Hickson, A. L. A. Johnson, W. Dreyer dan W. Oschmann. 2005. Climate records from a bivalved Methuselah Arctica islandica, Mollusca; Iceland. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 228 2005 130 – 148. Snow, dan A. Pring. 2005. The mineralogical microstructure of shells PART 2. The iridescence colors of abalone shells. American Mineralogist, Volume 90, pages 1705–1711, 2005. Southgate, P. C., E. Starck, A. Hart, K. T. Wada, M. Monteforte, M. Cariño, S. Langy, C. Lo, H. Acosta-SalmĂłn dan A. Wang. 2008. Exploitation and Culture of Major Commercial Species. Dalam P. C. Southgate dan J. S. Lucas Eds., The pearl oyster. Elsevier, Amsterdam. Hal 303-356. Strack, E. 2008. Introduction of Pearl Oyster. Dalam P. C. Southgate dan J. S. Lucas Eds., The pearl oyster. Elsevier, Amsterdam. Hal 1-35. Strack, E., 2006. Pearls. Ruhle-Diebener-Verlag, Stuttgart, Germany, 707 hal. Taylor, J. dan E. Strack. 2008. Pearl Production. Dalam P. C. Southgate dan J. S. Lucas Eds., The pearl oyster. Elsevier, Amsterdam. Hal 273-302 Wada, K. T. dan I. TĂ«mkin. 2008. Taxonomy and Phylogeny. Dalam P. C. Southgate dan J. S. Lucas Eds., The pearl oyster. Elsevier, Amsterdam. Hal 37-75. Yukihira, H., D. W. Klumpp dan J. S. Lucas. 1999. Feeding Adaptations Of The Pearl Oysters Pinctada margaritifera And P. maxima To Variations In Natural Particulates. Mar Ecol Prog Ser ol. 182 161-173,1999. Ellia KristiningrumBendjamin Benny Louhenapessyp>Perkembangan usaha budidaya mutiara telah mengarah pada kegiatan industri yang terintegrasi. Terdapat 4 proses utama dalam budidaya tiram mutiara yaitu proses pembenihan, pendederan dan pembesaran tiram mutiara, serta proses operasi penyisipan nucleus. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tahapan budidaya tiram mutiara dan melakukan analisa perlu tidaknya pengembangan SNI untuk tahapan insersi nukleus ke dalam tubuh tiram mutiara. Metode analisa deskriptif berdasarkan data dari 3 pengusaha tiram mutiara yang berada di wilayah Bali, Labuan Bajo dan Manado digunakan untuk mengungkapkan budidaya tiram mutiara serta menganalisa kebutuhan pengembangan standarnya. Penelitian ini menemukan 4 SNI pendukung budidaya tiram mutiara yaitu SNI pendederan tiram mutiara, SNI tiram mutiara induk, SNI tiram mutiara spat dan SNI mutiara. Hasil analisa menunjukkan bahwa pengembangan standar untuk proses operasi atau teknik insersi tidak perlu dilakukan, hal ini dikarenakan faktor kompetensi pelaku insersi dan faktor eksternal lingkungan lebih mendominasi terhadap keberhasilan pembentukan mutiara, sehingga kualitas mutiara yang dihasilkan belum tentu seragam meskipun dilakukan dengan teknik insersi yang sama. Penyusunan tatacara dan persyaratan proses insersi tiram mutiara dijadikan dapat pedoman untuk mendukung standardisasi kegiatan budidaya tiram mutiara. 3 mu m and P. maxima SPM = ca 3 to 15 mg l-1, size > 4 mu m may be used for selection of optimum pearl culture also known as nacre, is the iridescent material which forms the inner layer of seashells from gastropods and bivalves. It is mostly made of microscopic ceramic tablets densely packed and bonded together by a thin layer of biopolymer. The hierarchical microstructure of this biological material is the result of millions of years of evolution, and it is so well organized that its strength and toughness are far superior to the ceramic it is made of. In this work the structure of nacre is described over several length scales. The tablets were found to have wavy surfaces, which were observed and quantified using various experimental techniques. Tensile and shear tests performed on small samples revealed that nacre can withstand relatively large inelastic strains and exhibits strain hardening. In this article we argue that the inelastic mechanism responsible for this behavior is sliding of the tablets on one another accompanied by transverse expansion in the direction perpendicular to the tablet planes. Three dimensional representative volume elements, based on the identified nacre microstructure and incorporating cohesive elements with a constitutive response consistent with the interface material and nanoscale features were numerically analyzed. The simulations revealed that even in the absence of nanoscale hardening mechanism at the interfaces, the microscale waviness of the tablets could generate strain hardening, thereby spreading the inelastic deformation and suppressing damage localization leading to material instability. The formation of large regions of inelastic deformations around cracks and defects in nacre are believed to be an important contribution to its toughness. In addition, it was shown that the tablet junctions vertical junctions between tablets strengthen the microstructure but do not contribute to the overall material hardening. Statistical variations within the microstructure were found to be beneficial to hardening and to the overall mechanical stability of nacre. These results provide new insights into the microstructural features that make nacre tough and damage tolerant. Based on these findings, some design guidelines for composites mimicking nacre are S. LucasThis chapter focuses the most important factors affecting pearl oysters as individual factors. Pearl oysters in their natural environment experience the simultaneous effects of a wide array of environmental factors. Food, almost inevitably, is a major environmental factor. Pearl oysters filter feed on suspended particulate matter SPM, consisting mainly of bacteria, microalgae, suspended organic matter, and inorganic particles. Particle size, density, composition, and digestibility affect the nutritional value of the SPM. Optimum densities of microalgae are in the 10-100 × 103 cells/mL range. As in all poikilotherms, ambient temperature profoundly influences pearl oysters through its effects on MR and related processes, such as respiration and feeding rates. Small diatoms are the predominate food of Akoya pearl oysters in some Japanese and Korean pearl farming areas. Quantity of food is also a major factor in the physiological condition, metabolic function, growth, and survival of pearl oysters. Studies of the influence of temperature on metabolic and related physiological processes of bivalves have shown that there is usually an optimum temperature or narrow temperature range for each species at which there is maximum MR, growth rate, and survival. Water currents are very important in bringing food and oxygen to pearl oysters and carrying away their wastes; however, strong currents may be deleterious by increasing suspended inorganic matter, interfering with filtering and preingestive processes. Pedro E SaucedoPaul C. SouthgatePearl oysters are typical marine bivalves in many features of their reproductive biology, embryological and larval development, and growth. They are protandrous hermaphrodites with various sex reversals during their lifetime in response to complex interactions of endogenous and environmental factors. They develop first as males and retain this condition for one or several reproductive cycles until changing sex. Pearl oysters have diffuse gonadial tissue, which is composed of small granular bags, acini. The acini contain stem cells, which may develop into oocytes or spermatocytes, the gametogenic processes being largely supported by energy and metabolites from the digestive gland and adductor muscle. The overall pattern of reproduction in pearl oyster populations is synchronous, with male and females undergoing sequential processes that lead to a simultaneous breeding period. Pearl oyster populations may spawn once or multiple times during a year. Spawning in pearl oysters is usually triggered by a change in the environment or presence of water-borne gametes. Early development follows the typical marine bivalve pattern of trochophore, D-stage veliger, umbo stage, eye-spot stage, pediveliger, metamorphosis, and newly settled spat. It takes in the order of 3-4 weeks. Development rates are particularly influenced by food availability and stored lipid is probably the primary energy reserve used during chapter provides information on cultured pearl production from the major commercial species and outlines problems encountered by these industries and bottlenecks to production. This chapter also presents broad information on the culture methods used for pearl oysters Commercial exploitation of pearl oysters goes back many centuries. Exploitation of Akoya pearl oysters for natural pearls has a long history with the earliest record of a pearl fishery being in India in 400 BC. Four Pinctada spp. have been the main targets Akoya, P. maxima, P. margaritifera, and P. mazatlanica The initial industries were generally based on the collection of shells for MOP, with natural pearls being found incidentally. Over-fishing of pearl oyster resources was a major factor in considering culture of pearl oysters for restocking and pearl production. Production of round cultured pearls from Akoya pearl oysters in Japan began in 1916 and the number of farms increased rapidly. The technology for producing cultured pearls subsequently spread to other countries and other species during the 20th century, with Japanese companies and Japanese technicians being strongly involved. Japan has also remained a major center for pearl marketing despite this diversification of the cultured pearl industry. Pearl fisheries and pearl culture industries have been characterized by large fluctuations in production and value. Fisheries have been affected by stock exhaustion and the development of plastic buttons. Cultured pearls are a luxury item and market fluctuations in demand and value reflect contemporary conditions of economic prosperity, supply versus demand, fashion, and pearl R. SnowThe iridescence colors of abalone shell arise from Bragg diffraction of light from the layers of the nacre. The thickness of the aragonite nacre tiles is locally regular but varies during the growth cycles of the shell and this can give rise to complex color play. In Paua shell Haliotis iris and in H. fulgens particularly the muscle scar shell the thickness of the nacre tiles varies from to ÎŒm, but locally the thickness is constant within domains of hundreds of tiles. Other species such as H. laevigata and H. rufescens are similar, but their tile thicknesses range from to ÎŒm. In all species, the color displayed changes with observation angle and is due to layer diffraction. In H. iris and H. fulgens, the colors displayed encompass the complete visible spectrum; color hues are pure and are well-defined first-order diffraction colors. Shells of the other species display red and green, but not blue colors. The colors are rendered most vividly where dark organic growth layers are formed. These absorb or scatter light and enhance the iridescence colors. The origin and nature of the diffraction colors are compared with those observed in labradorite and opal. The degree of regularity in tile thickness needed to allow diffraction colors to be generated is modeled using pearl sheet nacre and abalone shell columnar nacre as examples. The wavelength dispersion is proportional to the product of the squares of the refractive indices of the material, the normalized standard deviation of the thickness, and the order of the diffraction color. For this reason, only first-order diffraction color is seen from mollusc shell growth has been widely measured using fluorochrome marking. In order to test the efficiency and reliability of calcein staining on Pinctada margaritifera shells and pearls, the present study examined two administration methods, different concentrations and several immersion times. Immersion in a 150 mg L−1 calcein solution for 12 h to 24 h appeared to be the best method for marking P. margaritifera shells. For pearl marking, injection of a 200 mg L−1 calcein solution into the pearl pouch was the optimal method. Calcein marking was then used to measure the influence of food resource levels on the shell growth. Groups of 23-month-old P. margaritifera were fed at three trophic levels for two months. The two highest food levels tested 6000 cell mL−1 and 15 000 cell mL−1 induced uniform growth between the dorsal and ventral sides of shell, whereas the lowest food level 800 cell mL−1 induced greater growth on the dorsal side. Shell deposits from the ventral side were observed using a scanning electron microscope, revealing that the difference of the trophic level over two months had modified the thickness of the aragonite tablets formed. These results showed that the trophic level is a major factor conditioning P. margaritifera biological approach to forming crystals is proving to be most surprising. Mollusks build their shells by using a hydrophobic silk gel, very acidic aspartic acid rich proteins, and apparently also an amorphous precursor phase from which the crystals form. All this takes place in a highly structured chitinous framework. Here we present ideas on how these disparate components work together to produce the highly structured pearly nacreous layer of the mollusk R SchöneJ M FiebifR PfeifferJ GleßA L A HicksonW JohnsonW Dreyer DanOschmannSchöne, J. Fiebif. M. Pfeiffer, R. Gleß, J. Hickson, A. L. A. Johnson, W. Dreyer dan W. Oschmann. 2005. Climate records from a bivalved Methuselah Arctica islandica, Mollusca;

Pembahasan Cangkang Pelecypoda tersusun dari tiga lapisan, yaitu periostrakum (paling luar), prismatik (lapisan kapur di bagian tengah), dan nakreas (lapisan mutiara). Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah A. nakreas.

Lapisan mutiara yang mengkilap pada cangkang tiram Margaritifera adalah.... A. nakreas B. mantel C. prismatik D. epitel E. periostraku Jawaban A. nakreas Pembahasan Cangkang kerang muatiara terdiri atas 3 lapisan, yaitu ‱ Periostrakum adalah lapisan terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung ‱ Lapisan prismatic tersusun dari kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma, ‱ Lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit karbonat yang tipis dan paralel. *Baca buku halaman 342 Baca Selengkapnya Pembahasan Uji Kompetensi Materi Animalia Kelas 10 Kurikulum 2013 unggullainnya yang dibudidayakan, adalah P. margaritifera, P. fucata dan Pteria penguin (Pteridae). juga terdapat lipatan/tonjolan mantel pada satu sisi atau dua sisi yang berlawanan pada cangkang tiram. Beberapa dari pelipatan tersebut merupakan jaringan kering, sebagai bagian kalsifikasi yang rendah, namun umumnya lipatan tersebut Abstract Pinctada margaritifera adalah spesies kerang mutiara yang umumnya menghasilkan mutiara berwarna hitam sehingga dikenal sebagai mutiara hitam. Di Sulawesi Utara, spesies ini banyak menempati daerah laguna di perairan Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan. Salah satu jenis mutiara yang bisa diproduksi dari spesies kerang ini adalah mutiara jenis mabĂ©. Namun, kajian ilmiah tentang struktur dan senyawa mutiara yang dihasilkan dari kerang P. margaritifera yang berasal dari perairan Arakan belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketebalan lapisan mutiara jenis mabĂ© berdasarkan pertambahan waktu dan mendeskripsikan bentuk struktur pada lapisan mutiara jenis mabĂ© berdasarkan pertambahan waktu. Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan dengan tiga kali masa sampling yaitu pada bulan kedua, keenam dan ketujuh. Pada bulan awal dilakukan penyisipan/penempelan inti mutiara setengah bulat berbahan plastik pada dinding bagian dalam dari cangkang kerang P. margaritifera. Pertumbuhan lapisan diamati dengan mikroskop stereo dan Scanning Electron Microscope SEM. Hasil pengamatan yang didapat adalah tebal rata-rata lapisan mutiara bulan kedua adalah 0,201 mm, bulan keenam adalah 1,026 mm dan 0,914 mm pada bulan ketujuh. Berdasarkan analisis SEM menunjukkan bahwa struktur bangunan lapisan mutiara seperti susunan batu bata dengan ukuran platelet aragonite rata-rata pada bulan kedua adalah 0,511 ”m dan pada bulan keenam adalah 0,604 ”m. Pembahasan Kerang mutiara termasuk kedalam kelompok Pelecypoda. Sistem ekskresi Pelecypoda menggunakan sepasang nefridium yang berfungsi sebagai ginjal. Adapun sistem sarafnya terdiri atas otak, simpul saraf kaki, dan simpul saraf otot yang saling berhubungan. Sistem reproduksi Pelecypoda adalah seksual dengan gonokoris atau hermafrodit.
ï»żBerandaLapisan mutiara yang mengilap pada cangkang tiram ...PertanyaanLapisan mutiara yang mengilap pada cangkang tiram Margaritifera adalah ....Lapisan mutiara yang mengilap pada cangkang tiram Margaritifera adalah nakreasmantelprismatikepitelperiostrakumJawabanjawaban yang tepat adalah A. nakreasjawaban yang tepat adalah A. nakreasPembahasanCangkang Pelecypoda tersusun dari tiga lapisan, yaitu periostrakum paling luar, prismatik lapisan kapur di bagian tengah, dan nakreas lapisan mutiara. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah A. nakreasCangkang Pelecypoda tersusun dari tiga lapisan, yaitu periostrakum paling luar, prismatik lapisan kapur di bagian tengah, dan nakreas lapisan mutiara.Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah A. nakreasPerdalam pemahamanmu bersama Master Teacher di sesi Live Teaching, GRATIS!5rb+Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!CCasaaicaPembahasan lengkap banget Ini yang aku cari!RCRahma Cahyaningrum Pembahasan lengkap banget Mudah dimengerti Makasih ❀©2023 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia

Padacangkang tiram Margaritifera memiliki lapisan mutiara yang mengkilap yaitu from BIOLOGY 3010 at City University of Hong Kong. Study Resources. Main Menu; by School; by Literature Title; by Subject; Textbook Solutions Expert Tutors Earn. Main Menu; Earn Free Access;

Home Soal Sebutkan Lapisan Mutiara Yang Mengkilap Pada Kerang Tiram - Mutiara biasanya sangat indah, dan nggak akan pernah membosankan untuk dipandangi. Mutiara berasal dari hewan, yang disebut tiram. Jenis tiram penghasil mutiara adalah Margaritifera sp. Asia dan Meleagrina sp. Jepang dan Indonesia. Tiram sebenarnya merupakan hewan yang termasuk dalam kelas Pelecypoda Hewan Berkaki Pipih. Pelecypoda merupakan salah satu kelas dalam filum Mollusca hewan lunak.SOALLapisan mutiara yang mengkilap pada cangkang tiram Margaritifera adalah....A. nakreasB. mantelC. prismatikD. epitelE. periostrakuJawaban A. nakreasPembahasan Jadi kalian perlu tahu ne guys, bahwa cangkang kerang muatiara terdiri atas 3 lapisan, yaituPeriostrakum adalah lapisan terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindungLapisan prismatic tersusun dari kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma,Lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit karbonat yang tipis dan paralel. Nah sudah tahu kan guys, jangan lupa komentar di bawah ya... makasih Maslikhah Seorang ibu rumah tangga yang memberikan informasi pendidikan dari sumber-sumber website terakurat FHCs.
  • bwp3rx7jax.pages.dev/211
  • bwp3rx7jax.pages.dev/96
  • bwp3rx7jax.pages.dev/206
  • bwp3rx7jax.pages.dev/119
  • bwp3rx7jax.pages.dev/319
  • bwp3rx7jax.pages.dev/634
  • bwp3rx7jax.pages.dev/936
  • bwp3rx7jax.pages.dev/388
  • bwp3rx7jax.pages.dev/799
  • bwp3rx7jax.pages.dev/399
  • bwp3rx7jax.pages.dev/386
  • bwp3rx7jax.pages.dev/723
  • bwp3rx7jax.pages.dev/45
  • bwp3rx7jax.pages.dev/594
  • bwp3rx7jax.pages.dev/592
  • lapisan mutiara yang mengkilap pada cangkang tiram margaritifera adalah